hadiah untuk guru

Hadiah untuk Guru: Antara Tanda Hormat dan Bahaya Gratifikasi

Pemberian hadiah kepada guru bisa menjadi ladang subur tumbuhnya gratifikasi terselubung jika tidak dibingkai dengan kesadaran etis dan batasan syariat.

Di tengah peringatan Hari Guru dan momentum kelulusan sekolah, pemberian hadiah kepada guru seringkali dianggap sebagai bentuk penghargaan dan rasa terima kasih dari murid dan orang tua. Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengingatkan masyarakat agar tidak sembarangan memberikan hadiah kepada guru, karena tindakan tersebut berpotensi menjadi bentuk gratifikasi yang dapat melanggar integritas profesi guru.

Menurut Wawan Wardiana, Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, pemberian hadiah kepada guru masih banyak ditemukan dalam hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) pendidikan 2024. “Pemberian hadiah itu bukan rezeki, tetapi gratifikasi,” tegasnya. Kebiasaan ini, meski tampak sepele, dapat menjadi pintu masuk praktik rasuah di sektor pendidikan. Bahkan KPK menyebut bahwa tindakan semacam ini bisa melegalkan budaya korupsi secara tidak langsung sejak usia dini.

Perspektif Islam: Hadiah atau Risywah?

Dalam Islam, memberikan sesuatu kepada guru tidak otomatis dilarang, selama niatnya tulus dan tidak disertai motif tersembunyi. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun, batas antara penghargaan dan suap sangat tipis jika tidak disertai kehati-hatian. Nabi Muhammad SAW secara tegas melarang risywah (suap) dalam bentuk apapun:

“Allah melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantara antara keduanya.”
(HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah)

Lebih jauh lagi, dalam konteks jabatan, Nabi pernah menegur petugas zakat yang menerima hadiah:

“Mengapa kamu tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu, lalu lihat apakah hadiah itu akan datang kepadamu atau tidak?”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini memperjelas bahwa hadiah yang diterima karena posisi atau jabatan bisa tergolong sebagai ghulul (pengkhianatan terhadap amanah).

Pendidikan Karakter vs Pembelajaran Praktik Rasuah

Yang menjadi kekhawatiran besar adalah dampak psikologis dan moral dari kebiasaan memberi hadiah kepada guru. Anak-anak yang terbiasa melihat gurunya menerima bingkisan dari orang tua cenderung belajar bahwa akses, nilai, dan perhatian bisa dibeli. Ini bukan hanya merusak nilai-nilai pendidikan, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap kejujuran dan integritas pendidik.

Sekolah seharusnya tidak hanya fokus pada prestasi akademik tanpa pembinaan nilai karena pendidikan memiliki fungsi utamanya sebagai pembentuk kepribadian bangsa. Maka, menjaga etika pemberian kepada guru bukan hanya soal hukum, tetapi bagian dari tanggung jawab moral menciptakan ruang pendidikan yang sehat dan bebas dari praktik rasuah.

Mencari Solusi: dalam Bingkai Etika dan Transparansi

Memberi sesuatu kepada guru tidak perlu dilarang total, tetapi harus dibingkai secara etis dan transparan. Beberapa daerah, misalnya, ada kebiasaan baik memberikan hadiah dan sedekah untuk menghormati guru. Namun, dalam praktek yang baik ini sebaiknya dipikirkan metode yang baik. Ada beberapa cara agar niat baik dapat melahirkan output yang baik. Misalnya:

  • Disalurkan melalui sekolah secara kolektif dan transparan.
  • Berupa dukungan dalam bentuk kegiatan pendidikan, seperti buku atau fasilitas pembelajaran.
  • Dilakukan setelah hubungan akademik selesai, agar tidak mempengaruhi penilaian atau perlakuan.

Lebih penting dari itu, kita perlu membangun kesadaran bahwa penghargaan tertinggi kepada guru adalah doa, penghormatan, dan keberhasilan siswa dalam mengamalkan ilmu yang diajarkan.

Budaya memberi hadiah kepada guru memang mengandung niat baik. Namun niat baik yang tidak dibarengi kesadaran etik bisa membuka pintu pada praktik-praktik yang merusak integritas dunia pendidikan. Peringatan KPK seharusnya menjadi momentum refleksi bagi seluruh pihak—sekolah, orang tua, dan masyarakat—untuk membangun sistem pendidikan yang berbasis kejujuran, integritas, dan akhlak. Karena guru bukan hanya pengajar, tetapi teladan yang membentuk masa depan bangsa.

 

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

BRIN Moderasi Beragama

Moderasi beragama Bukan Sekadar Konsep Akademik, Tapi Jalan Tengah Untuk Beragama secara Damai, Inklusif, dan Berkeadaban

Jakarta — Meningkatnya berbagai aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama menunjukkan bahwa paham radikal masih memiliki …

Prof M Suaib Tahir PhD

Jihad Palsu di Balik “Ukhuwah Global”: Umat Diminta Waspada Propaganda ISIS

Jakarta — Kelompok teroris ISIS kembali menyebarkan propaganda bermuatan ajakan jihad ke berbagai negara konflik, …