cuka

Hadist “Cuka adalah Lauk Terbaik” : Pelajaran untuk Memahami Hadist Tidak Hanya Fokus Pada Teks

Terkadang ketika memahami sebuah hadist yang dijadikan sandaran hukum kedua dalam Islam, kita hanya terpaku pada teks semata. Padahal aspek sebab dan konteks menjadi sangat penting dalam memahami hadist. Kita tidak hanya sekedar klaim paling sunnah, tetapi tidak memahami kandungan sebuah hadist.

Salah satu misalnya tentang hadist cuka sebagai lauk terbaik. Hadist sahih yang diriwayatkan oleh banyak mukharrij hadist salah satunya Imam Muslim dengan redaksi dari Aisyah yang mengatakan Nabi pernah bersabda : sebaik-baiknya lauk adalah cuka.

Dengan menjalani sunnah apakah setiap makan kita harus memakai lauk cuka? Atau dalam hadist lain dengan redaksi ; tidak akan merasa fakir jika di rumah seseorang ada cuka. Cuka merupakan lauk yang diberkati. Apakah artinya, kita harus menyetok cuka dalam rumah sebagai tindakan sunnah?

Di sinilah penting memahami sebab (asbabul wurud) dan konteks zaman sehingga dapat menghasilkan pemahaman yang baik sehingga mewujudkan perilaku sunnah yang baik. Bukan perilaku sunnah yang asal sama dengan bunyi teks dengan mengabaikan kandungan di dalamnya.

Memang ulama berbeda pendapat tentang makna hadist tersebut. Ada yang memahami secara tekstual yang mengatakan hadist tersebut berbicara tentang keberkahan cuka. Ada ulama lain yang melihatnya lebih komprehensif meliputi pelacakan turunnya hadist hingga pembacaan terhadap konteks zamannya.

Misalnya, Almarhum Prof KH Ali Mustafa Yaqub yang memberikan pemahaman dengan membaca konteks zaman itu. Roti menjadi makanan pokok dengan lauk yang beragam. Cuka menjadi lauk yang sederhana dan mudah didapatkan. Tentu berbeda dengan makanan pokok Indonesia dengan nasi. Lauk terbaik dengan nasi apa yang ada dan mudah didapatkan, semisal hanya dengan sayuran yang ada.

Imam Nawawi dalam sharah Shahih Muslim mengatakan makna  hadist ini pujian untuk merasa cukup makanan yang ada dan menahan diri dengan banyak makanan enak. Cuka menjadi lauk karena harga yang tidak mahal dan selalu menjadi pelengkap paling sederhana.

Jika digabungkan dengan redaksi yang berbeda dengan esensi yang sama akan menjadi sangat mudah dipahami. Ketika Nabi meminta lauk kepada keluarganya ketika hendak makan, mereka menjawab : kami tidak punya apa-apa selain cuka. Maka Nabi memakannya dan berkat sebaik-baik lauk adalah cuka.

Ini menjadi pelajaran yang sangat luar biasa dan mengandung banyak mutiara hikmah.  Bukan sekedar memahami cuka sebagai lauk terbaik dan harus bagi kita menyediakan cuka di dapur. Namun, hal terpenting bagaimana etika Nabi yang tidak meminta lebih kepada keluarganya. Beliau sangat sederhana dan menganggap yang ada sebagai lauk terbaik.

Bukankah banyak dari suami yang merasa harus marah ketika sang istri hanya menyediakan menu seadanya? Nabi justru memujinya bahwa lauk yang ada (cuka) sebagai menu terbaik. Perkataan ini sangat membuat sejuk keluarganya.

Hikmah selanjutnya adalah tidak memanjakan badan dengan sahwat makanan yang berlebih. Keadaan sederhana dan apa adanya menjadi lauk terbaik ketika hendak menyantap makanan. Tidak ingin berlebihan yang dapat menyebabkan tubuh menjadi tidak sehat.

Karena itulah, hal serupa dari hadist Ka’ab bin Malik dari ayahnya bahwa Rasulullah makan dengan tiga jari dan menjilati tangannya setelah makan sebelum beliau bersihkan (HR Muslim). Apa maksud dengan tiga jari? Apakah setiap makan apapun harus dengan tiga jari?

Pemahaman tekstual akan mengatakan demikian. Namun, konteks yang lebih luas kita maknai hadist tersebut dengan membaca konteks zamannya dan menyandingkan dengan hadist lainnya dalam etika makan.

Nabi mengajarkan untuk tidak melahap makanan secara banyak dan terburu-terburu. Makan dengan porsi yang banyak ke dalam mulut menggangu proses mengunyah makanan dan berbahaya bagi kesehatan yang akan memperberat kerja lambung.

Tiga jari dalam kasus memakan kurma pada zaman itu adalah ideal agar dapat meraih kurma dengan sedikit dan tidak berlebihan. Tentu bukan makan nasi dengan kuah yang akan menyusahkan diri anda dengan makan tiga jari. Namun makna pentingnya adalah asupan yang sedikit dan pelan ketika makan.

Karenanya ada hadist lain bagaimana Nabi mengunyah makanan hingga 33 kunyahan. Poin pentingnya bukan angkanya yang harus diikuti harus sama dengan Nabi 33 kali kunyahan, tetapi tergantung tekstur makanannya hingga lembut dan masuk dalam perut. Lalu Nabi menambahkan agar tidak tergesa-gesa dengan hadist : sikap pelan itu dari Allah dan sikap tergesa-gesa itu dari setan (HR Baihaqi-Shahih).

Karena itulah, memahami hadist agar kita menjadi bagian dari penikmat sunnah, bukan sekedar pada teks saja. Namun, pemahaman yang lebih dalam tentang sebab dan konteks hadist serta dipadukan dengan hadist lainnya akan menghasilkan perilaku mengikuti sunnah yang kaffah.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

BRIN Moderasi Beragama

Moderasi beragama Bukan Sekadar Konsep Akademik, Tapi Jalan Tengah Untuk Beragama secara Damai, Inklusif, dan Berkeadaban

Jakarta — Meningkatnya berbagai aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama menunjukkan bahwa paham radikal masih memiliki …

Prof M Suaib Tahir PhD

Jihad Palsu di Balik “Ukhuwah Global”: Umat Diminta Waspada Propaganda ISIS

Jakarta — Kelompok teroris ISIS kembali menyebarkan propaganda bermuatan ajakan jihad ke berbagai negara konflik, …