pemilu 2024

Haramkah Melaksanakan Pemilu?

Sebagian kelompok dalam Islam yang anti Pancasila mengklaim negara Indonesia sebagai negara kafir. Salah satu faktor yang dianggap sebagai pelanggaran Syariat yaitu Indonesia melaksanakan sistem demokrasi dengan bentuk Pemilihan Umum (Pemilu). Alasannya,  sistem itu tidak pernah diajarkan dalam Islam, dan tidak termuat di dalam al Qur’an atau al Hadits. Sementara sistem yang jelas-jelas disebutkan dalam al Qur’an yaitu bermusyawarah bukan demokrasi. Allah swt berfirman:

وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ

Artinya: “Bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam suatu urusan” (QS. Ali Imran: 159)

Ini adalah sistem yang ditawarkan oleh Allah swt dalam setiap memutuskan suatu persoalan. Lebih-lebih persoalan kepemimpinan. Manakala tidak menggunakan sistem yang diberikan oleh Allah swt, maka cukup al Qur’an yang menghakimi orang-orang tersebut. Sebagaimana firman Allah swt:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Artinya: “Barangsiapa yang tidak menggunakan hukum yang Allah swt turunkan, maka mereka itu orang-orang kafir” (QS. Al Maidah: 44)

Dengan dasar-dasar ini maka tidak sepatutnya bagi Indoensia yang mayoritas umat Islam melakukan Pemilu, karena itu bukan sistem yang diberikan oleh Allah swt. Begitulah mereka berpendapat.

Namun apakah benar Islam sekaku itu ?

Perlu diketahui sebelumnya bahwa Pemilu merupakan salah satu cara dalam memilih seorang pemimpin. Indonesia merasa lebih nyaman dalam pengangkatan seorang pemimpin negara dengan Pemilu. Karena sistem tersebut dapat mengakomodasi seluruh hak-hak warga negara, dari bermacam ras dan agama. Jadi kita tegaskan lagi bahwa Pemilu merupakan sistem atau jalan dalam penegakan seorang pemimpin.

Hakikatnya, di dalam al Qur’an atau pun hadits tidak ada satu ayat atau hadits yang menjelaskan tentang sistem pengangkatan pemimpin. Hal ini semakin jelas dari sejarah awal terbentuknya khilafah pada masa Khulafa’urrasyidin. Abu Bakar ra diangkat sebagai khalifah pertama melalui sistem musyawarah antara kaum Muhajirin dan Anshar di Tsaqifah Bani Sa’idah. Sementara pada khalifah kedua, Umar bin Khattab ra dengan sistem tunjuk dari khalifah pertama. Begitu juga pada khalifah ketiga. Bahkan pada khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib ra hampir tidak menemukan kemufakatan di antara umat Islam saat itu.

Fakta sejarah diangkatnya khalifah dari yang pertama hingga yang terakhir yaitu dengan sistem yang berbeda-beda. Ini sebagai bukti bahwa di dalam Islam memang tidak ada cara khusus dalam mengangkat seorang pemimpin. Yang wajib dilakukan bagi umat Islam yaitu mengangkat seorang imam atau pemimpin. Misal di dalam al Qur’an disebutkan:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

Artinya: “Ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat “Aku menjadikan seorang khalifah di muka bumi ini” (QS. Al Baqarah: 30)

Allah swt hanya menjadikan Nabi Adam as sebagai khalifah di muka bumi ini. Tetapi Allah swt tidak menyebutkan bagaimana membentuk Nabi Adam as menjadi khalifah. Begitu juga ayat lain, Allah swt mewajibkan ta’at kepada pemimpin, tetapi Allah swt tidak menjelaskan bagaimana cara mengangkat pemimpin.

Tentang masalah ayat anjuran “musyawarah”, perintah Allah swt kepada Nabi Muhammad saw untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya mengenai musuh-musuhnya itu. Tentang musyawarah sendiri bukan suatu kewajiban. Apalagi dipaksa lebih spesifik kepada persoalan pengangkatan pemimpin. Jika demikian, bukankah berarti Nabi saw telah mengingkari firman tersebut. Sebab Nabi saw sendiri tidak pernah melakukan musyawarah tentang pemimpin umat setelahnya. Begitu juga para sahabat yang hidup setelahnya, niscaya mereka kafir karena tidak melakukan musyawarah ketika mengangkat Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra dan Ali bin Abi Thalib ra. Bahkan pada Abu Bakar ra sendiri, Ali bin Abi Thalib ra tidak dilibatkan dalam permusyawaratan tersebut.

Andai pun dipaksakan, maka Pemilu tidak bisa dianggap bertentangan dengan ayat di atas tadi. Sebab pelaksanaan Pemulu merupakan hasil dari musyawarah panjang dari orang-orang yang ahli dalam bidangnya.

Melaksanakan Pemilu memang tidak wajib, tetapi tidak haram. Sehingga seandainya suatu saat Indonesia menemukan cara yang lebih baik dari pada Pemilu dalam mengangkat seorang pemimpin, maka sah-sah saja. Sebab Pemilu hanya sistem yang menjembatani terlaksananya kewajiban mengangkat seorang pemimpin. 

Bagikan Artikel ini:

About Ernita Witaloka

Mahasantri Ma’had Aly Nurul Qarnain Sukowono Jember Takhassus Fiqh Siyasah

Check Also

caci maki

Hukum Menghina Kinerja Pemerintah

Pada prinsipnya, Islam melarang siapa pun menghina orang lain, termasuk kepada Pemerintah. Menghina termasuk perbuatan …

politik

Siapakah yang Dimaksud Pemimpin Dzalim ?

Dalam salah satu riwayat, ketika Umar bin Abdil Aziz ra diganti menjadi khalifah ia berdiri …