Perbedaan hukum untuk satu objek kerap dijumpai. Baik pada hadis maupun pendapat ulama fikih. Percakapan tentang perbedaan ini jauh-jauh hari telah disinggung oleh para ulama sebagai rahmat atau kasih sayang kepada umat Islam.
Realita ini dalam tataran praktis memang sangat berpengaruh dalam mengaplikasikan agama Islam sebagai agama yang tidak membuat sulit pemeluknya. Ada banyak contoh tentang hal ini. Pertama, adab buang air kecil. Rasulullah mempraktekkan aktivitas ini dengan dua kondisi yang berbeda. Suatu saat beliau kencing berdiri dan pada saat yang lain beliau duduk.
Abil Mahawib Abdul Wahhab bin Ahmad Al Anshari yang populer dengan Imam Sya’rani dalam karyanya Al Mizan al Kubra menulis hadis Nabi riwayat Imam Bukhari dan lainnya, sesungguhnya Rasulullah buang air kecil dalam keadaan berdiri. Sementara hadis riwayat al Baihaqi, sesungguhnya Rasulullah buang air kecil dalam keadaan duduk. Pada saat yang lain pula Nabi berkata kepada Umar bin Khattab, “Janganlah engkau kencing berdiri’. Sejak saat itu Khalifah Umar tidak pernah kencing berdiri sampai meninggal dunia.
Dua hadis ini sekilas bertolak belakang. Tapi jangan terburu menyangka Nabi senaknya saja dalam hal kencing. Justru ini merupakan elastisitas hukum yang diperankan oleh Nabi supaya umat Islam bisa memilih. Hadis pertama sekedar pembuktian bahwa kencing berdiri boleh. Sementara dua hadis yang lain sebagai informasi keutamaan duduk saat kencing. Bahwa adab buang air kecil yang dianjurkan oleh Nabi adalah duduk, bukan berdiri. Sebab itu, bagi mereka yang paham tentang adab akan memilih duduk.
Contoh kedua yang ditulis oleh Imam Sya’rani adalah masalah menyentuh kemaluan. Apakah membatalkan wudhu atau tidak?. Sama dengan kencing, hadis-hadis Nabi tentang menyentuh kemaluan ini terbelah dua. Ada hadis yang mengatakan bahwa menyentuh kemaluan membatalkan wudhu, dan ada juga hadis yang menyatakan sebaliknya.
Menakar fenomena seperti ini, Imam Sya’rani mengembalikan kepada dua pertimbangan. Yang satu adalah pendapat atau hukum yang berat dan yang satunya lagi sebagai hukum yang ringan. Hukum yang berat dianjurkan bagi para pembesar agama, seperti Kiai dan ustad yang aktivitas duniawinya tergolong ringan. Sedangkan yang ringan untuk para awam atau mereka yang melakukan aktivitas kerja yang berat.
Apakah beda praktek hukum ini berakibat pula pada soal pahala?. Allah maha adil. Jangan khawatir untuk hal ini. Akan tetapi, semaksimal mungkin untuk mengikuti adab yang lebih sempurna dalam segala aktivitas duniawi, terutama dalam hal ibadah.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah