prestasi
prestasi

Islam Serius Menghargai Prestasi

“Tidakkah kebaikan (prestasi) akan dibalas kebaikan ?”. Sebuah pertanyaan retoris yang temaktub dalam al-Qur’an surat ar-Rahman ayat 60. Ayat ini menegaskan pentingnya memberikan pengakuan dan  apresiasi (rekognisi) kepada orang lain yang telah berprestasi dan melakukan perbuatan ihsan (kebaikan). Islam serius menghargai prestasi. Syekh Wahbah Zuhaili menafsirkan ayat tersebut bahwa perbuatan baik di dunia akan dibalas pahala di akhirat berupa surga. Dalam hal ini, prestasi seseorang menunjukkan kualitas SDM, kualitas SDM menunjukkan tuntutan investasi jangka panjang bagi sebuah bangsa.

Memberi pengakuan atas kelebihan dan prestasi orang lain merupakan cermin akhlak bahkan nilai peradaban yang tinggi. Apresiasi memberikan pengaruh yang positif bagi peningkatan kinerja orang yang diapresiasi sekaligus penyiapan masyarakat untuk bisa berkontribusi dan berperan sosial. Sejarah mencatat bahwa tidak sedikit anak yatim yang menjadi tokoh berpengaruh dunia karena prestasinya, termasuk dalam hal ini Nabi Muhammad Saw dan para pewaris Nabi.

Dalam Islam, al-Qur’an telah menegaskan pentingnya bagi seorang hamba untuk bersyukur dan mengakui kebesaran Allah. Firman Allah surat Ibrahim ayat 7; “Jika kalian bersyukur maka akan saya tambahkan nikmat kalian” adalah buktinya. Ini bukan berarti Allah membutuhkan rasa terima kasih dari manusia, melainkan menunjukkan bagaimana manusia menjaga adabnya kepada Allah. Soal terima kasih merupakan konsekuensi logis dalam hubungan hamba dengan Allah yang telah mencurahkan segala nikmat -Nya.

Dengan sudut pandang lain, Islam menginspirasi umat agar menjadi masyarakat yang menghargai prestasi. Ini masyarakat muslim yang sesungguhnya. Ini merupakan masyarakat yang dinamis, alias terbuka dengan perubahan-perubahan yang terjadi dan beralasan jika perubahan itu terjadi. Sebagian Fuqoha tempo dulu memiliki pandangan bahwa “barang siapa berlogika maka dia zindiq”. Pandangan ini dibantah oleh Ibnu Hazm al-Andalusy; “Barang siapa berlogika maka dia sampai pada kebenaran (keniscayaan)”. Pandangan Fuqoha dimaksud juga dibantah oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali melalui kedua kitabnya; “al-Qisthas al-Mustaqim” dan “al-Musthasfa”.

Setidaknya memberikan semangat dan motivasi kepada orang yang telah berprestasi adalah ibadah. Idealnya, prestasi besar diperkuat dengan pemberian apresiasi berupa materi atau tanda penghargaan seperti sertifikat atau pembuatan acara seremonial secara khusus. Dengan ini, masyarakat akan tumbuh sebagai komunitas yang kreatif, saling berkolaborasi atau berkompetisi dalam hal kualitas. Sebaliknya, orang-orang yang iri dengki dengan orang lain yang berprestasi akan membuat orang iri itu selalu di belakang dan orang yang berprestasi terus ke depan. Lebih dari itu, kedengkian juga akan melebur pahala amal sebagaimana api memakan kayu bakar.

Di Indonesia, orang yang diakui telah berjasa besar bagi bangsa dan negara digolongkan sebagai Pahlawan Nasional. Ini juga bagian dari bentuk rekognisi. Lebih dari itu, para Pahlawan atau pejuang agama yang sudah wafat, baik di tingkat desa maupun kota akan terus mendapatkan hadiah do’a dari generasi yang datang berikutnya.   Dalam bahasa al-Qur’an, orang yang semangat berbuat baik tanpa terpengaruh oleh rekognisi dan pujian tergolong orang yang “mukhlashin”, sedangkan jika masih terpengaruh oleh rekognisi tergolong orang yang “mukhlisin”. Keduanya meskipun sama-sama hamba Allah yang istimewa, tetapi memiliki maqom (kedudukan) yang berbeda.

Tidak diragukan bahwa musuh dari prestasi adalah kelemahan dan kemalasan. Allah lebih menyukai mukmin yang kuat dibanding yang lemah. Selain itu, Allah membenci dan melarang bermalas-malasan. Tidak sedikit kemiskinan bertahan lama disebabkan oleh kelemahan dan kemalasan. Orang yang berlama-lama miskin potensi terperangkap hutang. Orang yang berhutang akan ditekan dan orang yang ditekan tidak akan memiliki kehormatan dan wibawa, bahkan kemuliaan dan harga dirinya dijadikan taruhan.

Oleh karena itu, Sayidina Ali – Karramallahu Wajhah – berkata; “Seandainya kemiskinan itu berwujud manusia maka sudah pasti Aku yang membunuhnya”.  Pesan ini sesuai dengan prinsip bahwa pada dasarnya manusia tidak mewariskan kehormatan atau kehinaan kecuali manusia membuatnya untuk dirinya sendiri. Sayidina Ali berharap umat Islam bisa mandiri secara ekonomi dan bahkan memandirikan orang lain mengingat tantangan kehidupan di dunia ini semakin keras.

Prestasi merupakan hasil usaha yang diraih oleh orang-orang yang mampu bertahan di tengah cobaan yang bertubi-tubi. Aib yang sebenarnya adalah berhenti berporses sedangkan dia mampu untuk menyelesaikannya. Pesan kelemahan atau keengganan untuk menyempurnakan proses tersebut diabadikan oleh Abu at-Thoyyib al-Mutanabbi melalui syairnya;

كَنَقْصِ الْقَادِرِيْنَ عَلَى التَّمَامِ وَلَمْ أَرَ فِيْ عُيُوْبِ النَّاسِ عَيْبًا

 

Bagikan Artikel ini:

About Ribut Nurhuda

Penasehat PCI NU Sudan

Check Also

Imam Syafii

Maksud Imam Syafi’i Sebagai “Penolong Hadist”

Imam Syafi’i merupakan ulama yang tidak asing di telinga masyarakat muslim Indonesia. Selain  pendiri salah …

spanyol dan afrika

Perkembangan Madzhab Maliki di Spanyol dan Afrika Utara

Masyarakat Afrika Utara secara umum mengikuti madzhab Maliki. Di Sudan, madzhab ini tersebar dengan pesat …