kota makkah

Islam dan Haji (1) : Posisi Islam terhadap Ajaran Nabi Sebelumnya

Apakah haji ibadah yang khas umat Islam? Adakah Nabi dan umat terdahulu atau masa jahiliyah melaksanakan haji? Sebelum menjawab pertanyaan itu penting sekali memahami Islam dan posisinya terhadap ajaran dan syariat Nabi terdahulu.

Islam datang sebagai penyempurna risalah yang telah sebelumnya. Nabi Muhammad diangkat menjadi penutup para Rasul yang tidak menentang, apalagi menghapus risalah kenabian para pendahulunya. Karena itulah, dalam al-Quran terdapat banyak kisah sebagai ibrah tentang para Nabi dan Rasul sebagai penting ketidakterputusan ajaran Allah dari sejak dahulu hingga era Nabi Muhammad.

Nabi bersabda tentang misi kerasulannya untuk menyempurnakan akhlak. Menyempurnakan berarti mengakui ajaran sebelumnya dan menjadikan Islam sebagai agama yang terakhir untuk menyempurnakan ajaran sebelumnya.

Tidak ada perbedaan yang fundamental antara ajaran Islam dengan agama sebelumnya. Hal pokok tentang akidah dan akhlak memiliki satu sumber yang sama. Tauhid adalah ajaran inti dari para Nabi sebelumnya. Yang membedakan adalah praktek ritual atau syariat masing-masing agama.

Dalam menggambarkan risalah para Nabi sebelumnya, Rasulullah pernah bersabda : “Para nabi bagaikan saudara seayah, agama mereka satu yaitu agama Islam, dan ibu-ibu (syariat-syariat) mereka berbeda-beda.” (Riwayat al-Bukhari, Muslim dan Dawud).

Mengapa syariatnya berbeda? Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana (Ibrahim : 4).

Jelas, Allah mengutus seorang Nabi dengan Bahasa, tradisi, dan pengetahuan kaumnya. Setiap Nabi memiliki Bahasa dan ritual masing-masing untuk disyariatkan kepada umatnya. Namun, secara tegas apapun syariat dan pengetahuan para Nabi semuanya mengajak pada akidah tauhid dan akhlak yang baik.

Konsekuensi mengakui, menghormati dan menegaskan keberlanjutan ajaran Allah, Islam dihadapkan pada satu pertanyaan bagaimana Islam menyikapi syariat Nabi sebelumnya. Apakah ditolak, diadaptasi, diasmilasi, disempurnakan atau seperti apa?

Sebagaimana banyak ditanyakan apakah shalat sudah ada sebelum Nabi Muhammad? Apakah zakat juga ada sebelum Islam? Ataukah puasa seperti apa yang disyariatkan pada umat sebelumnya? Ataukah Haji pun sebenarnya ritual klasik para nabi?

Dalam khazanah kajian ushul fikih, istilah untuk menyebutkan hukum dan syariat para nabi terdahulu diistilahkan dengan syar’u man qablana atau hukum-hukum yang disyariatkan umat terdahulu melalui para Rasul. Syariat Nabi terdahulu adalah bagian dari ajaran Allah kepada para Nabi yang tetap dihormati oleh Nabi.

Konon, puasa sunnah 10 Muharram dilaksanakan Nabi untuk mengikuti dan menghormati sejarah pembebasan Bani Israil dan Nabi Musa dari kejaran Fir’aun. Cerita ini beliau dapatkan ketika mendapati orang Yahudi Madinah berpuasa pada hari 10 Muharram. Lalu Ibnu Abbas meriwayatkan”Aku tidak pernah melihat Nabi SAW begitu bersemangat berpuasa di hari yang paling dia sukai dibandingkan hari lain, kecuali hari ini, Hari Asyura.” (HR Bukhari).

Lalu, bagaimana semestinya umat Islam menyikapi syar’u man qablana? Apakah seluruhnya diterima atau ditolak atau dipilah? Syeikh Wahbab Zuhaili mengklasifikasi syar’u man qablana dalam dua hal. Pertama, syariat yang tidak disebut dalam al-Quran dan hadist. Dalam kasus ini Nabi pernah memberikan petunjuk untuk tidak dibenarkan, tetapi juga tidak diingkari. Kedua, syariat yang disebut dalam Al-Quran dan hadist. untuk klasifikasi yang kedua ini ulama merinci kepada 3 hal.

Pertama, syariat yang disebut dalam Al-Quran dan Hadist, tetapi dihapus dan tidak berlaku pada umat Islam. Contoh ini misalnya penjelasan Al-Quran tentang makanan yang diharamkan pada umat Yahudi. Lalu Islam menghapus keharaman itu dengan perintah yang baru.

Kedua, dijelaskan dalam Al-Quran menjadi syariat umat terdahulu serta tidak dihapus dari syariat Islam. Salah satu contoh adalah puasa. Dalam Surat Al-Baqarah 183 dijelaskan puasa adalah kewajiban bagi umat terdahulu dan juga bagi umat Islam.

Ketiga, syariat yang dijelaskan dalam Al-Quran atau hadist Nabi dan secara jelas tidak dinyatakan sebagai syariat untuk Nabi Muhammad, tetapi juga tidak ada penjelasan menghapus syariat tersebut. Untuk kasus kedua ini ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan menjadi bagian dari Syariat Islam karena apapun yang diturunkan dari Allah adalah kewajiban bagi umat Islam jika tidak ada dalil yang menghapusnya. Kelompok kedua mengatakan tidak menjadi bagian dari syariat Islam karena masing-masing umat memiliki syariat masing-masing.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bagaimana sebenarnya posisi Islam dihadapkan dengan agama sebelumnya. Islam agama yang menghormati, melanjutkan dan menyempurnakan agama sebelumnya. Karena itulah, prinsip akidah dan akhlak agama Allah memiliki kesamaan. Di bidang syariah, ada yang dihapus, dilanjutkan dan disempurnakan.

Sampailah kita pada pembahasan ibadah haji. Bagaimana dengan ibadah Haji? Apakah termasuk syariat umat terdahulu dan diperintahkan untuk melanjutkan?

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Santri

Semangat Jihad Santri Kini Bertransformasi Jadi Perjuangan Intelektual dan Kultural

Semarang — Peringatan Hari Santri Nasional 2025 yang jatuh pada Selasa (22/10) diperingati secara khidmat …

Gubernur Jatim Khofifah Parawansa hadiri Lirboyo Bersholawat

Hari Santri: Panggilan Suci Teguhkan Peran Santri Sebagai Penjaga Iman, Bangsa, dan Peradaban Dunia

Kediri — Hari Santri bukan sekadar peringatan, melainkan panggilan suci untuk meneguhkan peran santri sebagai …