tradisi
tradisi

Menyoal Posisi Tradisi dalam Islam

Perbincangan tradisi dalam Islam selalu menjadi wacana yang menarik dan kadang pro dan kontra. Salah satunya yang selalu menghebohkan adalah apakah tradisi harus dibuang atau dirawat sebagai bagian penting yang bisa dijadikan sandaran hukum.

Islam sebagai agama rahmat untuk alam semesta. Agama ini hadir bukan untuk menghapus tradisi secara totalitas. Kehadirannya semata untuk merespon dan mengarahkan manusia agar menjadi hamba sesuai kehendak pencipta. Melalui utusannya, Allah memberi petunjuk kepada manusia tentang suatu nilai kebenaran dan tata aturan kehidupan yang baik.

Secara fitrah, manusia sejatinya makhluk sempurna dibandingkan lainnya. Manusia dilengkapi akal dan hati dalam menilai dan mengarahkan sesuatu. Baik, buruk, patut dan tidak sudah bisa dicerna oleh manusia. Akal sebagai karunia pencipta menjadi alat pembeda yang hak dan batil. Tetapi akal kerap tercemar oleh birahi nafsu yang menumpulkan akal sehat. Apalagi kalau dirasuki kepentingan tertentu.

Oleh sebab itulah, agama kemudian hadir untuk membingkai manusia dalam suatu tatanan yang sesuai dengan selera Pencipta. Di antara tatanan tersebut adalah tradisi yang terbentuk atas kesepakatan bersama dalam suatu lingkup yang menjadi tempat hidup mereka. Berlangsung turun temurun dan menjadi kesepakatan tak tertulis.

Menimbang Pengertian dan Macam Tradisi

Lalu apa itu tradisi?  Secara sederhana tradisi atau dalam bahasa arab ’urf dapat diartikan sebagai sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fikih menyebut ‘urf disebut adat (adat kebiasaan).

‘Urf dibagi atas beberapa bagian. Ditinjau dari segi sifatnya, ‘urf terbagi kepada ‘urf qauli dan ‘urf amali. ‘Urf qauli adalah ‘urf yang berupa perkataan’ seperti perkataan walad, menurut bahasa berarti anak, mencakup anak laki-laki dan anak perempuan. Tetapi dalam percakapan sehari-hari biasa diartikan dengan anak laki-laki saja. Lahmun, menurut bahasa berarti daging, termasuk di dalamnya segala macam daging, seperti daging binatang darat dan ikan. Tetapi dalam percakapan sehari-hari hanya berarti binatang darat saja. Daging binatang air, seperti ikan di luar cakupannya.

Sedangkan ‘urf amali adalah ‘urf yang berupa perbuatan. Seperti jual beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan shighat akad jual beli. Padahal menurut syara’, shighat jual beli itu merupakan salah satu rukun jual beli. Tetapi karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat melakukan jual beli tanpa shighat jual beli dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diingini, maka syara’ membolehkannya.

Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya, ‘urf terbagi menjadi ‘urf shahih dan ‘urf fasid. ‘Urf shahih merupakan kebiasaan yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara’. Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah. Hal ini dipandang baik dan telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara’.

Sedangkan ‘urf fasid adalah kebiasaan yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara’. Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Kebiasaan ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.

Ditinjau dari ruang lingkup berlakunya, ‘urf terbagi pada dua kategori; ‘Urf ‘am dan ‘Urf khas. ‘Urf ‘am adalah kebiasaan yang berlaku pada suatu tempat dan masa dan keadaan. Seperti memberi hadiah kepada orang yang telah berjasa kepada kita dan mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantu kita dan sebagainya.

Pengertian memberi hadiah di sini dikecualikan bagi orang-orang yang memang menjadi tugas dan kewajibannya memberikan jasa tersebut. Yakni, ia memberikan jasa, sebagai imbalannya ia memperoleh jasa atau upah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, seperti hubungan penguasa atau pejabat dan karyawan pemerintah yang tugas dan kewajibannya melayani rakyat.

Sedangkan ’urfk hash adalah kebiasaan yang hanya berlaku pada tempat, masa atau keadaan tertentu saja. Seperti mengadakan halal bi halal yang biasa dilakukan oleh bangsa Indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan, sedang pada negara-negara Islam lain tidak dibiasakan.

Mendasarkan Tradisi sebagai Hujjah

Para ulama sepakat bahwa ‘urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah selama tidak bertentangan dengan syara’. Imam Malik seringkali mendasarkan hukum pada amalan penduduk Madinah. Imam Abu Hanifah kerapkali berdeda dengan sahabat-sahabatnya dalam penetapan hukum, karena mendasarkan keputusannya pada tradisi.

Imam Syafi’i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Untuk satu kasus yang sama beliau menetapkan hukum yang berbeda. Qaul qodimnya, yakni waktu beliau masih berada di Baghdad (qaul qadim) berbeda dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid).

Beberapa contoh di atas menegaskan bahwa pada kasus ijtihad dan penetapan hukum para ulama dan mujtahid sangat mempertimbangkan tradisi atau situasi dan kebiasaan masyarakat setempat. Ketiga madzhab itu berhujjah dengan menimbang ‘urf. Namun, jelas bahwa ‘urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.

Di antara kaidah-kaidah fiqhiyah yang berhubungan dengan ‘urf adalah: “Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum.” “tradisi manusia yang telah dikerjakan sejak lama bisa dijadikan hujjah. ” Dan,”Tidak dapat dipungkiri bahwa hukum  bisa berubah sebab perubahan masa. “

Kaidah-kaidah fikih di atas merupakan bukti bahwa para ulama menjadikan tradisi atau urf shahih sebagai bagian dari pertimbangan hukum. Perbedaan tradisi menyebabkan perbedaan hukum. Sebagaimana kaidah mengatakan perubahan tempat dan waktu akan mempengaruhi perbedaan hukum.

Perlu ditegaskan, bahwa hukum yang didasarkan pada ‘urf bisa berubah sebab perubahan masa dan tempat. Sejatinya ’urf sebagai istidlal tidak berdiri sendiri, karena ‘urf pada prinsipnya hanya demi menjaga kemaslahatan.

Berilsam dalam konteks ini tidak bisa memberangus berbagai kebiasaan masyarakat. Islam adalah pedoman bukan tradisi. Karena sebagai pedoman Islam harus bisa relevan untuk memberikan nilai kepada berbagai tradisi. Tradisi itulah yang akan mengikat kuat Islam dalam masyarakat.

Bagikan Artikel ini:

About Khotibul Umam

Alumni Pondok Pesantren Sidogiri

Check Also

sirah nabi

Pesan Nabi Menyambut Ramadan

Bulan Ramadan, atau di Indonesia familiar dengan sebutan Bulan Puasa, merupakan anugerah yang diberikan Allah …

imam ahmad bin hanbal

Teladan Imam Ahmad bin Hanbal; Menasehati dengan Bijak, Bukan Menginjak

Sumpah, “demi masa”, manusia berada dalam kerugian. Begitulah Allah mengingatkan dalam al Qur’an. Kecuali mereka …