Dr KH Ahmad Kusyairi Suhail MA

Isra Miraj Bukti Kekuasaan Allah SWT dan Kenabian Rasulullah SAW

Jakarta – Isra Miraj merupakan peristiwa dimana Rasulullah Nabi Besar Muhammad SAW dari Masjidil Haram Makkah menuju Masjid Al Aqsa, yang kemudian dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Di langit ketujuh itulah, Nabi Muhammad menerima perintah salat lima waktu dari Allah SWT. Dalam momentum Isra Miraj, 27 Rajab 1445 Hijiriah atau Kamis, 8 Februari 2024,

Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) KH Ahmad Kusyairi Suhail menyampaikan ayat pertama dari Surat Al-Isra’ yang juga dikenal dengan nama Surat Bani Israil (keturunan Israil) ini memberitakan peristiwa spektakuler yang menjadi mukjizat Nabi akhir zaman, Rasulullah SAW. Mukjizat Isra dan Miraj yang merupakan bukti kekuasaan Allah SWT dan kenabian Muhammad SAW.

Allah Subhanahu wa Taala berfirman:

Subḥānal-lażī asrā bi‘abdihī lailam minal-masjidil ḥarāmi ilal-masjidil-aqṣal-lażī bāraknā ḥaulahū linuriyahū min āyātinā, innahū huwas-samī‘ul-baṣīr(u).

Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS Al-Isra’ Ayat 1)

Kiai Kusyairi mengatakan, Isra adalah perjalanan di malam hari dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsa di Baitul Maqdis. Sedang Miraj adalah perjalanan dari Masjidil Aqsa menuju Sidratul Muntaha (tempat yang paling tinggi di atas langit yang ke-7).

“Maka, tepat sekali jika ayat tersebut dimulai dengan tasbih, Maha Suci Allah. Sebab jika hanya mengandalkan nalar dan kemampuan akal dalam menelaah peristiwa agung ini, maka manusia pasti akan terbentur pada keterbatasan, tidak akan pernah mampu menembus dimensi takdir Ilahi,” kata Kiai Kusyairi dikutip dari laman Republika.co.id, Kamis (8/2/2024).

Kiai Kusyairi mengatakan, tidak boleh juga hanya sekadar untuk Tamattu’ ‘Aqli, kenikmatan intelektual semata. Bagaimana logis, masyarakat Quraisy Makkah biasa melakukan perjalanan ke negeri Syam, pergi pulang memakan waktu selama 2 bulan, sementara Nabi Muhammad SAW melakukannya hanya dalam semalam. Tepatnya, berangkat dari Makkah dari bakda Isya’ dan pulang balik ke Makkah lagi sebelum subuh.

“Maka, diriwayatkan ada segelintir orang Islam yang lemah imannya, murtad setelah mendengar peristiwa (Isra’ dan Mi’raj). Sungguh, peristiwa Isra’ dan Mi’raj merupakan Ikhtibar Imani, ujian keimanan,” ujar Kiai Kusyairi yang juga Dosen Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) UIN Jakarta.

Kiai Kusyairi menegaskan, disinilah keimanan yang berbicara. Jadi, membaca peristiwa yang menakjubkan dan spektakuler ini harus dengan Qiro’atul Iman, bacaan keimanan. Iman kepada kekuasaan Allah. Iman kepada Kun Fa yakun-Nya, Dzat yang Maha Besar dan Agung. Keimanan kepada hal-hal yang ghaib.

Penyebutan ”memperjalankan hamba-Nya” pada Surat Al-Isra’ Ayat 1 menunjukkan pemuliaan dan penghormatan pada Rasulullah SAW, bahwa beliau adalah hamba Allah yang mendapatkan derajat atau posisi istimewa di sisi-Nya. Namun, posisi kehambaannya tidak sampai melebur dengan posisi ketuhanan seperti keyakinan para pemeluk agama Kristen pada Nabi Isa Alaihissalam.

Penyebutan “hamba-Nya” menurut Profesor Wahbah Az Zuhaili, juga menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW di-Isra’-kan dengan ruh dan jasad dalam keadaan bangun dengan mengendarai Buraq, bukan dalam mimpi dan dalam keadaan tidur seperti pendapat sebagian orang.

“Dalam kajian tafsir Sayyid Quthb rahimahullah, bahwa rihlah (perjalanan) dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa adalah rihlah pilihan Yang Maha Lembut lagi Maha Mengetahui. Perjalanan ini menghubungkan akidah-akidah tauhid yang besar sejak nabi Ibrahim dan Ismail Alaihissalam sampai Nabi Muhammad SAW. Serta menghubungkan  tempat-tempat suci bagi agama-agama samawi,” kata Kiai Kusyairi.

Ia mengatakan rekreasi spiritual ini sepertinya ingin memaklumatkan pewarisan Rasul terakhir terhadap tempat-tempat suci para Rasul sebelumnya. Bahwa tempat-tempat suci itu tercakup dalam risalah Nabi Muhammad SAW sehingga hubungan keduanya sangat erat sekali.

Hal ini menunjukkan betapa perjalanan monumental itu telah menembus dimensi zaman dan tempat serta menyiratkan makna-makna yang lebih luas dari sekedar makna yang tertangkap pada pandangan pertama.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

084039400 1760199435 830 556

Pesan Habib Ja’far: Manfaatkan AI Sebagai Tools, Bukan Rujukan Utama Soal Persoalan Agama

JAKARTA — Perkembangan zaman tidak bisa dinapikan oleh masyarakat, termasuk perkembangan teknologi yang mempermudah keperluan, …

Bincang Jurnal

Perkuat Literasi dan Iman Untuk Bendung Penyebaran Radikalisme di Media Baru

Purwokerto — Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan …