Sebagaimana maklum diketahui, puasa Ramadhan ditambah puasa sunnah enam hari bulan Syawal pahalanya sama seperti berpuasa selama satu tahun. Puasa enam hari bulan Syawal lebih utama dikerjakan setelah hari raya Idul Fitri, dari tanggal 2 sampai tanggal 7 bulan Syawal. Ini pendapat jumhur ulama. Namun sebagian ulama berpendapat boleh dikerjakan kapan saja selama masih di bulan Syawal dan tidak harus berturut-turut.
Ada anggapan umum bahwa istri yang hendak berpuasa sunnah harus meminta ijin lebih dahulu kepada suaminya. Kalau tidak diijinkan maka tidak boleh berpuasa.
Apakah berlaku untuk semua puasa sunnah istri harus minta ijin kepada suami?
Jawaban pertanyaan ini dibahas detail dalam kitab Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuawitiyah. Disini dijelaskan, jika istri mengerjakan puasa sunnah tanpa izin suaminya hukumnya tetap sah, namun haram (shahha ma’a al hurmah). Ini pendapat mayoritas ulama fikih. Namun, menurut ulama Hanafiyah hukumnya makruh tahrim (makruh yang dekat kepada haram).
Sedangkan ulama Syafi’iyah hanya mengkhususkan keharaman tersebut kepada puasa sunnah yang berulang-ulang. Sementara puasa sunnah yang tidak berulang, seperti puasa ‘Arafah, puasa ‘Asyura dan puasa enam hari bulan Syawal boleh dilakukan tanpa izin suami, kecuali kalau suaminya benar-benar melarangnya.
Kalau suami ada di tempat yang jauh, apakah istri masih harus izin?
Dalam kitab I’anatut Thalibin dijelaskan bahwa para ulama fikih sepakat istri tidak perlu minta izin suami ketik akan berpuasa sunnah. Keharaman berpuasa sunnah tanpa izin suami berlaku kalau suami berada satu tempat dengan istri. Hukum haram tidak berlaku berada di luar kota atau tempat lain yang jauh.
Demikian penjelasan tentang perempuan yang berpuasa sunnah tanpa izin suami. Tentu, ada hikmah disebalik hukum haram bagi perempuan yang berpuasa sunnah tanpa izin suaminya.