Sebagian kalangan dengan rasa takut mempersepsikan dialog antara agama sebagai ancaman adanya kompromi keyakinan. Sebagian lain menganggapnya sebagai agenda Barat dan kapitalisme untuk mengekalkan cengkraman mereka di dunia ketiga, khususnya Islam. Bahkan, konon, dialog antara agama adalah bentuk ketakutan Barat terhadap kebangkitan Islam. Benarkah demikian?
Pertama tentu kita harus pahami apa itu dialog antara agama agar tidak gegabah dan mispersepsi dan selalu mengandalkan pra sangka buruk. Selanjutnya, kita akan melihat sandaran dalil apakah dialog antar agama diperbolehkan atau dilarang atau dipraktekkan atau tidak dipraktekkan dalam Islam, khususnya Rasulullah.
Definisi Dialog Antar Agama
Huston Smith, intelektual Barat yang sangat menghormati tradisi ketimuran, terutama Islam menegaskan bahwa dialog antara agama adalah pertukaran pemikiran, pemahaman, dan pengalaman antara orang-orang beragama yang berbeda dalam upaya mencari pemahaman yang lebih dalam tentang keyakinan dan praktik mereka sendiri, serta pemahaman yang lebih baik tentang keyakinan dan praktik orang lain.
Pemahaman yang perlu digaris bawahi dari definisi di atas adalah pertukaran pemikiran dan pengalaman dari yang berbeda untuk mencari pemahaman terhadap keyakinan diri sendiri dan keyakinan orang lain. Artinya, dialog antar agama bertujuan menghilangkan asumsi terhadap keyakinan orang lain berdasarkan ketidaktahuan diri terhadap yang lain.
Dari sini tidak ada satu pun tendensi dialog antara agama untuk mengkompromikan apalagi proses konversi agama. Hal ini misalnya ditegaskan oleh Karen Amstrong, penulis buku fenomenal berjudul Sejarah Tuhan mendefinisikan dialog antara agama sebagai usaha menjalin hubungan, menghindari konflik, dan membangun kesalingpengertian antara kelompok-kelompok beragama yang berbeda, dengan fokus pada persamaan, nilai-nilai bersama, dan tujuan-tujuan yang saling memperkuat.
Amstrong menitikberatkan pada upaya menjalin kerjasama dan menghindari konflik dengan fokus pada persamaan nilai dan tujuan beragama. Bukan untuk mengkompromikan, tetapi mengambil persamaan nilai universal tentang kebaikan dalam agama-agama. Karena tentu saja semua agama mempunyai nilai fundamental yang sama tentang kebaikan.
Dari kalangan muslim, saya ingin mengutip dari Fethullah Gülen, seorang ulama kharismatik dan paling berpengaruh di Turki. Ia mendefinisikan dialog antara agama sebagai perbincangan terbuka dan jujur yang bertujuan mempromosikan pemahaman dan keharmonisan antara komunitas agama yang berbeda dalam semangat toleransi dan kerjasama.
Dari berbagai pengertian itu nampaknya ketakutan berlebihan bahwa dialog antar agama sebagai kamuflase konversi dan kompromi beragama tentu terlalu lebay. Atau jika dikatakan bahwa dialog antar agama sebagai agenda global, konspirasi Barat atau apapun istilah yang mengerikan lainnya, marilah kita tengok apakah ada jejak teladan dari Rasulullah tentang dialog antar agama.
Dialog antara Agama Rasulullah
Fakta bahwa Rasulullah beserta Islam muncul di tengah agama yang sudah ada dan mapan. Sebutlah Yahudi dan Nasrani ketika itu. Dua agama besar ini pun telah mendiami jazirah Arab sebelum Islam. Pertemuan Nabi dengan kedua agama tentu tidak bisa terbantahkan.
Apakah ada jejak dialog agama yang dilakukan Rasulullah. Tentu banyak sekali! Ikhtiar membangun perjanjian damai dalam berbagai perjanjian Rasulullah dengan yang berbeda adalah bentuk kongkret dialog antar agama. Upaya memberikan jaminan perlindungan dan bersama membangun kota Madinah adalah bentuk dari dialog nyata antar agama.
Namun, apakah ada bentuk dialog bertukar ide, pemahaman dan pemikiran tentang agama-agama yang dilakukan Rasulullah dengan penganut agama lain? Jawabannya ada dan direkam dalam Al-Quran sebagai bagian dari etika dialog antar agama.
Terekam dengan jelas dalam sirah nabawiyah ketika Rasulullah mengundang Nasrani Najran ke Madinah untuk berdialog antar agama. Umat Nasrani Najran mengirimkan 14 orang. Sampai di Madinah, mereka diterima secara baik sebagai tamu negara. Karena Nabi pembawa Risalah, Nabi pertama-tama mengajak mereka untuk memeluk Islam, tetapi mereka menolak. Apakah lantas Nabi memaksa mereka?
Tidak, terjadilah dialog antar agama antara Rasulullah dengan Nasrani Najran dari seputar teologi, sosial, politik dan pemerintahan. Ada hal yang tidak bisa disepakati bersama, tetapi ada titik temu kebaikan yang dicapai bersama.
Catat! Bahwa Rasulullah tidak pernah memaksakan seseorang untuk masuk Islam, tetapi tugasnya adalah menyampaikan risalah dan mengajak masuk Islam. Dalam berdialog dan tukar pikiran (mujadalah) Rasulullah mengandalkan etika yang santun dan menghormati.
Sikap ini sebagaimana digambarkan dalam Al-Quran : “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah: “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri” (Al-Ankabut: 46).
Lihatlah, bagaimana al-Quran mengajarkan dari cara Rasulullah berdialog. Rasulullah mencari kesamaan keyakinan dengan menegaskan tentang Ke-esan-an Tuhan. Bahwa Tuhan mereka dan kita adalah satu dan hanya kepadaNya kita berserah diri.
Jadi, dalam konteks berdialog agama dengan mencari kesamaan bukanlah hal yang tabu. Yang penting adalah mengedepankan saling menghargai sebagaimana dipraktekkan Rasulullah.
Dialog Antara Agama adalah Komitmen Saling Melindungi
Dialog bukan sekedar saling tukar pikiran dan pengalaman. Dalam proses itu tentu ada persamaan dan ada pula perbedaan. Menyikapi perbedaan tidak perlu memaksa untuk sama. Ketidaksepakatan Nasrani Najran dengan Rasulullah dalam aspek tertentu tidak menjadikan mereka harus saling memaksa.
Dari dialog agama yang dilakukan Rasulullah memunculkan perjanjian bersama. Dialog bukan sekedar pertukaran ide dan pemahaman, tetapi komitmen bersama untuk hidup bersama. Rasulullah membuat perjanjian berupa komitmen perdamaian yang berisi membantu dalam perbaikan tempat ibadah, tidak ada paksaan dalam memeluk Islam, dan upaya saling melindungi.
Lihatlah, bagaimana Rasulullah memberikan teladan yang sangat luar biasa dalam mengembangkan dialog antara agama di zamannya. Dialog antar agama bukan adu gagasan, tetapi upaya mencari kesamaan dan komitmen saling melindungi. Tidak ada pemaksaan dalam agama.
Sampai di sini kita bisa mengetahui jejak dialog antara agama di masa Rasulullah. Di samping cerita Bani Najran ini ada kisah-kisah lainnya bagaimana Nabi berdialog dengan pemuka dan tokoh Yahudi tentang al-kitab. Mereka diterima oleh Nabi bahkan konon Nabi memperbolehkan mereka beribadah di masjid.
Begitu anggunnya sikap Rasulullah dalam dialog antar agama. Lalu, jika kita menolak dialog antar agama, terus panutan kita umat Islam itu siapa sebenarnya??
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah