perusakan lingkungan
perusakan lingkungan

Jihad Bi’ah : Hukum Fikih untuk Para Pencemar Lingkungan

Pembiaran dampak negatif menyengsarakan masyarakat yang dilakukan oleh oknum pelaku usaha seringkali terjadi. Polusi udara, air dan semacamnya menjadi pemandangan biasa di daerah sekitar perusahaan dan perkebunan.

Penulis merasakan sendiri polusi debu di Jalan PT. Bumi Pratama Khatulistiwa (PT. BPK). Akses masuk ke perusahaan yang bergerak dalam bidang perkebunan kelapa sawit ini melewati satu kampung yang padat penduduk. Tepatnya di Parit Tengah Baru Desa Sungai Malaya. Sementara, jalan yang dibangun oleh PT. BPK hanya sebagian kecil saja yang diaspal, sebagian besarnya berupa tanah kuning atau tanah pegunungan, sehari saja tak hujan terjadi polusi debu yang sangat berbahaya bagi kesehatan.

Sebagai wujud kepedulian terhadap kesehatan lingkungan dan kelestarian alam, dirasa perlu untuk membahas fenomena polusi debu dari sisi hukum Islam sekaligus Undang-undang negara.

Nahdlatul Ulama (NU) pada Muktamar Nasional Alim Ulama ke-29 tahun 1994, di Cipasung, Tasikmalaya, membuat keputusan bahwa pencemaran lingkungan, baik udara, air maupun tanah, apabila menimbulkan dharar (kerusakan) maka hukumnya haram dan termasuk perbuatan kriminal (jinayat).

Dari sini sudah jelas, merusak lingkungan dan pelaku pencemar lingkungan termasuk pelanggaran berat dalam hukum Islam. Hukumnya adalah haram. Suatu larangan yang berkonsekuensi dosa dan siksa bagi pelakunya.

Mengacu pada hasil muktamar di atas, perusak dan pencemar lingkungan hidup tidak hanya mendapat stempel haram dari agama, lebih dari itu layak mendapatkan hukuman dari negara karena telah melakukan pelanggaran terhadap Undang-undang yang berlaku di negara ini.

Sebagai tindak lanjut dari jihad lingkungan (jihad bi’ah), pada 23 Juli 2007 PBNU menggelar Gerakan Nasional Kehutanan dan Lingkungan Hidup (GNHLN) yang menghasilkan keputusan, pemerintah dan rakyat wajib bersikap dan bertindak secara nyata dalam melenyapkan usaha-usaha perusakan hutan, lingkungan hidup dan kawasan pemukiman, memberangus penyakit sosial kemasyarakatan, demi keutuhan NKRI.

Jihad bi’ah ini merupakan langkah strategis untuk terciptanya kemaslahatan bagi masyarakat supaya terbebas dari polusi dan menjaga serta melestarikan lingkungan, sebagaimana telah diamanahkan oleh Undang-undang.

Dalam aturan Undang-undang di Indonesia, masyarakat seharusnya memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana telah ditentukan melalui pasal 65 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU 32/2009”).

Idealnya, untuk merealisasikan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana Pasal 65 ayat (1) UU 32/2009, tidak cukup hanya peran dari pemerintah sebagai stakeholder, tetapi juga harus adanya partisipasi aktif dari masyarakat.

Telah cukup jelas, sanksi hukum bagi para pencemar lingkungan, baik person maupun badan. Dari sisi hukum agama adalah haram, sementara Undang-undang negara telah menetapkan sanksi dan hukuman sebagaimana diatur dalam UU 32/2009, berupa sanksi administratif sampai sanki yang paling berat, yaitu penutup dan pemberhentian aktifitas.

Bagikan Artikel ini:

About Faizatul Ummah

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo dan Bendahara Umum divisi Politik, Hukum dan Advokasi di PC Fatayat NU KKR

Check Also

sikap orang tua terhadap anak

Ketika Orang Tua Durhaka Kepada Anaknya

Selama ini yang lazim kita dengar adalah anak durhaka kepada orang tua. Sementara hampir tidak …

Toa masjid

Toa dan Sejarah Tadarus Al Qur’an di Bulan Ramadan

Ramadan kali ini pun tak luput dari perdebatan soal pengeras suara (TOA). Polemik bermula dari …