KH Abdul Ghofur Maimoen copy

Jihad fi Sabilillah Menjaga Islam Tetap Hidup dan Nyaman Dijalankan

Jakarta – Jihad fi sabilillah bukan semata-mata perjuangan di medan perang, tetapi sebuah pengorbanan yang membuat umat Islam dapat menjalankan agamanya dengan tenang dan bermartabat.

Hal ini disampaikan KH Abdul Ghofur Maimoen, Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), saat mengisi kajian kitab Al-Hawi fi Fatawa al-Ghumari karya Syekh Sayyid Abdullah Al-Ghumari di Masjid An-Nahdlah, Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Kamis (24/7/2025).

Dalam pengajiannya yang disiarkan melalui kanal YouTube TVNU, Kiai Ghofur menjelaskan bahwa esensi jihad adalah menjaga eksistensi dan keberlangsungan ajaran Islam. Ketika tidak ada yang bertahan, merawat, atau mengelola urusan agama, maka umat akan kesulitan menjalankan keyakinannya.

Jihad itu membuat seorang Muslim bisa menjalankan agamanya dengan nyaman. Ketika tidak ada yang mengurus, Islam bisa mati pelan-pelan. Maka pahalanya sangat besar,” tegasnya dikutip dari NU Online.

Kiai Ghofur menekankan bahwa jihad memiliki dua makna: makna sempit dan makna luas. Dalam pengertian ketat, jihad berarti berperang membela agama Allah dengan jiwa, harta, dan perkataan. Namun dalam makna yang lebih luas, jihad mencakup segala bentuk upaya untuk memastikan umat Islam dapat menjalankan syariatnya dengan tenang, termasuk kontribusi dalam pendidikan, pembangunan, dan dakwah di pelosok negeri.

“Kalau jadi guru di Jakarta, itu belum tentu jihad. Tapi kalau ada guru yang rela mengajar di daerah terpencil, menghidupkan masjid, mengajarkan Qur’an, shalat, dan akhlak—itulah jihad fi sabilillah,” lanjut alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir, ini.

Ia pun mengingatkan bahwa zakat dalam Islam pun boleh diberikan kepada mereka yang berjihad di jalan Allah, sebagaimana disebut dalam Surah At-Taubah ayat 60. Sebab perjuangan ini penting untuk memastikan agama tetap hidup dan bisa diwariskan dengan utuh.

Kiai Ghofur memberi ilustrasi nyata: di Jakarta, masjid berdiri megah dan dana tersedia, tetapi di pelosok negeri, seorang Muslim harus berjibaku sendirian untuk menjaga nyala cahaya Islam. Mereka tidak hanya kekurangan fasilitas, tetapi juga tenaga pengajar dan pendakwah.

“Kalau tidak ada gerakan di sana, syiar Islam bisa mati. Maka orang yang berjuang di situ layak disebut berjihad fi sabilillah,” katanya.

Di akhir pengajian, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar 3, Rembang, ini mengutip hadits yang diriwayatkan dari sahabat Mas’ud, ketika ia bertanya kepada Rasulullah SAW tentang amal terbaik. Jawaban Nabi jelas: shalat tepat waktu, berbakti kepada orang tua, dan jihad fi sabilillah.

“Artinya, jihad bukan sekadar mengangkat senjata. Ini adalah amalan utama yang menghidupkan agama—baik dengan pikiran, tenaga, maupun pengorbanan,” tutupnya.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Bincang Jurnal

Perkuat Literasi dan Iman Untuk Bendung Penyebaran Radikalisme di Media Baru

Purwokerto — Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan …

KH Maruf Amin dan Menteri Wakaf Suriah

Ma’ruf Amin Bertemua Menteri Wakaf Suriah Bahas Kolaborasi Keilmuan dan Kedamaian Dunia Islam

Jakarta — Mantan Wakil Presiden Republik Indonesia, Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin, menerima kunjungan kehormatan …