Tidak satupun yang menampik bahwa dalam sejarah Islam pernah diwarnai oleh perang. Rasulullah sendiri sering terjun ke medan perang dan memimpin langsung tentara Islam. Semua sepakat. Tapi, untuk apa perang disyariatkan dalam Islam? Jawaban pertanyaan ini yang belum dipahami seutuhnya. Banyak dari umat Islam yang salah memahami konteks disyariatkannya perang dalam Islam.
Karenanya, penting untuk menjawab tuntas pertanyaan tersebut supaya tidak terjebak oleh narasi-narasi yang mengkampanyekan perang adalah jihad untuk membunuh mereka yang tidak beragama Islam atau berbeda keyakinan. Seperti kampanye yang disuburkan oleh kelompok radikalisme dan terorisme. Pemahaman seperti ini, disamping salah, juga membahayakan serta mengotori agama Islam.
Banyak para ulama yang menjelaskan arah dan tujuan disyariatkannya perang dalam Islam. Baik dari kalangan ulama salaf maupun ulama-ulama kontemporer. Salah satunya ditulis oleh Abdul Adhim Ibrahim Muhammad al Muth’ini. Dalam karyanya Samahatul Islam fi Da’wati ilallah; Manhajan wa Siratan, ia menulis satu sub tema dimulai dengan pertanyaan, “Untuk apa perang disyariatkan dalam Islam”?
Tulisnya, perang disyariatkan dalam Islam sebagai alternatif terakhir (dharuratus syariah). Perang tidak bertujuan untuk melakukan kekerasan, teror, intimidasi, memaksa, menaklukkan, menguasai atau menjajah. Perang tidak disyariatkan sebagai hobi untuk melakukan pembunuhan dan merampas harta. Sama sekali bukan seperti itu.
Perang disyariatkan untuk mencegah kedzaliman, mempertahankan hak, menjaga kehormatan dan menghalau musuh yang menyerang. Perang dibolehkan kalau bertujuan untuk menciptakan keadilan bagi penduduk bumi, untuk menciptakan perdamaian dan keamanan, memberantas kedzaliman dan kesewenang-wenangan. Perang yang terjadi pada masa Nabi dan khulafaur rasyidin semuanya bertujuan untuk hal itu.
Adapun tujuan perang yang paling utama dalam Islam adalah untuk membentengi agama dan akidah, menghalau fitnah, melindungi mereka yang lemah; laki-laki, wanita dan anak-anak. Perang disyariatkan hanya untuk tujuan-tujuan mulia tersebut dan penegakan nilai-nilai kemanusiaan.
Perang disyariatkan bukan bertujuan untuk memaksa non muslim untuk memeluk agama Islam. Tidak pula untuk menyiksa atau membunuh non muslim. Dan, perlu dipahami bahwa istilah “kafir” dalam Islam memiliki dua pengertian; pertama, orang yang memang tidak beragama Islam sejak lahir (kafir ashli). Mereka haram diperangi selama tidak mengganggu. Harta mereka juga harus dilindungi.
Umat Islam hanya berkewajiban menyampaikan kebenaran Islam kepada mereka. Kalau beriman tentu baik, tapi kalau tidak maka dipasrahkan kepada Allah. Kedua, orang yang keluar dari Islam. Istilah yang dipakai adalah murtad. Golongan ini dihukum, bahkan kalau membahayakan terhadap keimanan umat Islam yang lain harus diperangi. Hal ini sesuai kesepakatan (ijma’) khulafaur rasyidin dan hadis Nabi.
Kesimpulannya; pertama, disyariatkannya perang dalam Islam bukan legitimasi bolehnya memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam. Hal ini telah sangat jelas dalam al Qur’an. Kedua, meskipun kekafiran adalah dosa besar, namun kepada mereka yang terlahir kafir umat Islam hanya berkewajiban menyampaikan ajaran Islam, tidak lebih, dan tidak boleh memaksa mereka untuk memeluk agama Islam. Selebihnya diserahkan kepada Allah.