Maha Suci Allah dengan firmannya. Dalam al-Fatihah ayat kelima yang berbunyi “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’inu” lafadh na’budu didahulukan dari lafadh nasta’inu. Padahal, bisa saja nasta’inu diletakkan di awal dan na’budu di akhir. Mengapa demikian? Allah ingin menyampaikan pesan kepada kita lewat retorika bahasa. Allah tidak keliru meletakkan kata demi kata dalam al-Quran.
Na’budu yang berarti “Menyembah” merupakan kewajiban seorang hamba. Sebagaimana dalam surah Az-Zariyat ayat 56 “Wama Khalaqtu al-jinna wa al-insa illa liya’budun” maka hal tersebut menjadi kewajibannya untuk beribadah, menyembah Allah Yang Maha Esa. Sedang lafadh Nasta’inu yang berarti “Minta tolong” adalah sebuah hak yang akan diperoleh hamba. Dengan demikian, maka na’budu didahulukan dari nasta’inu agar manusia tidak selalu menuntut hak. Tapi mengerjakan kewajibannya terlebih dahulu.
Saya contohkan dengan saat ini, bukankah banyak yang demo minta gaji dinaikkan? sedangkan kerja mereka tidak selesai atau bahkan berantakan. Mereka selalu menuntut hak, sedangkan kewajibannya diabaikan. Sama halnya kita selalu menuntut Tuhan untuk memberikan apa yang kita minta. Sedang kita dalam melaksanakan syariatnya tidak konsisten atau bahkan keteteran.
Dalam ayat lain juga menerangkan bahwa kita harus menyembah kepada Allah, lalu berserah diri kepada-Nya.
فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ ۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
“Maka sembahlah Allah, dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud: 123)
Dalam artian, menyembah adalah bentuk penghambaan yang kita haturkan. Sebagai bentuk ikhtiar yang kita lakukan. Setelah itu, kita dapat berserah diri dan pada saat itulah nasta’inu atau pertolongan Allah akan diberikan kepada hamba. Jadi tak heran bila kita temukan orang yang mengeluh dan mempertanyakan di manakah belas kasih Tuhan karena permintaannya tak kunjung terkabulkan. Seolah tuhan tidak melihat dan tidak menolong hamba-Nya yang dalam kesusahan. Padahal ia sendiri masih belum melaksanakan kewajiban.
Maka sepatutnya kita beribadah dengan penuh semangat dan tekun. Karena hal tersebut adalah sebuah kewajiban secara syariat dan juga kewajiban secara prosedural dalam meminta hak kepada Tuhan. Tuhan maha Rahim dan Rahman. Tidak akan pernah membiarkan hambanya sengsara. Hanya kita yang kurang dekat dengannya. Tidak mengenal-Nya, sehingga yang terlontar hanya keluhan bukan syukur dan penghambaan.