Muhammad Abdullah Darraz
Muhammad Abdullah Darraz

Keterbukaan dan Sikap Kritis Kunci Pulih dari Virus Intoleransi dan Radikalisme

Jakarta – Sejak proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, sejatinya Indonesia masih di bawah bayang-bayang disintegrasi akibat virus radikalisme dan intoleransi. Bangsa kita dicabik-cabik oleh perpecahan dan permusuhan yang berakar dari maraknya nalar kebencian. Ibu pertiwi harus segera pulih dari virus intoleransi dan radikalisme untuk bangkit lebih kuat menuju harmoni bangsa.

Peneliti dan Kader Intelektual Muhammadiyah Muhammad Abdullah Darraz mengatakan, virus intoleransi dan radikalisme menjadi halangan terbesar untuk mewujudkan Indonesia yang harmoni dalam keberagaman. Setidaknya ada dua elemen mendasar yang perlu dimiliki anak bangsa untuk pulih dari virus intoleransi dan radikalisme.

“Jadi kalau kita mau pulih dari sikap radikalisme dan intoleransi, ada dua hal, yang pertama keterbukaan, yang kedua sikap kritis. Itu dibutuhkan dan wajib ditanamkan,” ujar Muhammad Abdullah Darraz, di Jakarta, Kamis (18/8/2022).

Darraz menjelaskan, proses radikalisasi sering kali masuk akibat keterbukaan yang tidak diiringi sikap kritis. Hal ini mengingat startegi infiltrasi kelompok radikal yang semakin halus, canggih dan ‘cantik’. Namun, kedua hal tersebut juga harus didorong dengan penanaman literasi yang baik, karena hal ini dapat dimanfaatkan untuk membangun benteng pencegahan yang kuat.

“Tentunya ini juga harus dibarengi dengan banyak literasi dan diskusi agar wawasan terbuka. Jadi ketika dihadapkan kepada oknum yang melakukan ‘manipulasi’ (agama dan ideologi), maka kita bisa kita cegah dengan pengetahuan dan sikap kritis,” ujarnya.

Ia menyebut Indonesia dalam konteks radikalisme dan intoleransi sedang dalam kondisi ‘sakit’. Menurutnya, virus itu mampu melemahkan bangsa sehingga menjadi mudah dipecah-belah dan kian terjebak dalam pusara konflik.

“Karena bangsa yang sehat adalah bangsa yang penuh toleransi, selalu damai, dan menghargai perbedaan. Sebab virus radikalisme dan intoleransi yang melemahkan bangsa ini, dapat menghambat kemajuan bangsa dan negara kedepannya,” jelas Darraz.

Oleh karenanya, ia mengajak semua pihak untuk mampu merefleksikan diri melalui pesan kemerdekaan untuk bersatu dan bertekad melawan berbagai tantangan yang dihadapi sebagai sebuah bangsa, salah satunya praktik radikalisme dan intoleransi yang dewasa ini mudah dijumpai sebagai politisasi agama oleh oknum dengan kepentingan politik.

“Konteks di 2017, 2019, itu kentara sekali peristiwa politiknya, menolak perbedaan atas nama agama dijadikan permainan, dijadikan kepentingan politik. Ini Tidak boleh terulang kedepannya. Agama hasrus digunakan untuk mencapai kebajikan, bukan kepentingan sesaat,” tegasnya.

Mengutip Buya Syafii Ma’arif, Darraz mengatakan ‘kalau tidak siap menerima perbedaan, jangan lahir ke dunia’. Hal tersebut menjadi bekal bagi anak, pemuda dan masyarakat untuk menerima perbedaan dan keragaman yang harus ditanamkan sejak dini agar menjadi sifat bawaan yang melekat pada anak bangsa.

“Untuk itu, peran pendidikan akan sangat efektif untuk menanamkan sikap kritis. “Namun justru cara pandang kritis itu tidak betul-betul diajarkan dalam sistem pendidikan kita. Bahkan lembaga pendidikan dijadikan alat, salah satunya melalui guru-guru,” kata mantan Direktur Eksekutif Maarif Institute ini.

Padahal, menurutnya, guru dan sekolah seharusnya menjadi benteng resiliensi siswa, bukan malah menjadi aktor radikalisasi siswa. Dengan kondisi itu, dibutuhkan agenda besar dari pemerintah agar secara serius memberikan penguatan kepada masyarakat untuk mewujudkan Indonesia yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan.

“Pemerintah harus betul serius menggalang kerjasama dengan masyarakat sipil, tokoh dan ormas moderat. Jadi penguatan di masyarakat sipil harus benar dilakukan  yaitu bagaimana Pancasila bisa dibumikan dan berdampak positif,” ujar Darraz.

Mengutip penelitian BNPT terkait indeks risiko terorisme, sejak 2010 terus mengalami penurunan hingga 12% dari seluruh penduduk Indonesia. Menurutnya, upaya kedua yang bisa dilakukan adalah kelompok toleran harus lebih aktif bernarasi dan masuk ke kelompok radikal, terutama kepada kelompok anak muda.

“Kelompok toleran harus lebih aktif bersuara dan masuk ke kelompok yang 12% itu, saya kira ini lebih efektif,” ucapnya.

Tidak hanya itu, Darraz juga berharap pemerintah mampu membawa dan mewujudkan Indonesia yang berkeadilan dan sejahtera, sebagai ‘pekerjaan rumah’ yang masih harus diselesaikan pasca 77 kemerdekaan, guna mengurangi potensi radikalisme.

“Ini bom waktu yang kalau sudah meledak akan sulit diperbaiki. Keadilan sosial ini yang masih harus kita perjuangakan dan dibenahi, ini pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan pasca kemerdekaan,” tandasnya.

 

 

 

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Pelatihan Guru di Serang 1

Era Digitalisasi, Perlu Strategi Baru Bentengi Generasi Muda dari Intoleransi dan Radikalisme

Serang – Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh pada tanggal 2 Mei harus bisa …

Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar copy

Bulan Syawal Kesempatan Umat Islam Jadi Ahli Zikir

Jakarta – Bulan Syawal adalah kesempatan umat Islam menjadi hamba-hamba Allah yang ahli zikir. Syawal sendiri memiliki …