Jakarta – Ideologi khilafah tak perlu diwacanakan lagi sebagai sebuah sistem pemerintahan di Indonesia. Pasalnya, khilafah dalam Islam, sudah berhenti di era Khulafaur Rashidin, dan tidak relevan di era sekarang.
“Kekhilafahan itu sudah berhenti di era Khulafaur Rasyidin, setelahnya muncul berbagai dinasti hingga era Usmani (Turki) yang selesai pada tahun 1923. Penggunaan terminologi khalifah juga sudah selesai (tidak perlu diperdebatkan), Usmani menggunakan kata khalifah untuk menyebut penguasa. Jadi tidak perlu lagi di wacanakan sebagai sebuah sistem pemerintahan di Indonesia,” ujar Kepala Program Studi Kajian Terorisme, Universitas Indonesia (UI) Muhammad Syauqillah, Ph.D, di Jakarta, Selasa (28/6/2022).
Ia mengungkapkan, era Usmani sejatinya menggunakan sistem pemerintahan Daulah uaitu Daulah Usmaniyah bukan Khilafah Usmaniyah. Disinilah kelemahan literasi dari para pengusung atau simpatisan Ideologi Khilafah sehingga pasca Usmani, banyak sekali wilayah yang mendeklarasikan diri sebagai negara baik dalam bentuk kerajaan dan sebagainya.
“Termasuk Indonesia yang memilih sebagai negara Pancasila. Dan kita sudah selesai Pancasila itu,” jelasnya.
Menurutnya, dalam perjalanannya Indonesia sejatinya melalui para founding fathers, ulama, serta para tokoh telah menyepakati diri sebagai darul ahdi wal syahadah atau negeri yang penuh dengan kedamaian serta darul mitsaq atau negeri kesepakatan. Sehingga sistem yang ada di bangsa ini sudah selesai dan telah bersepakat dalam konteks berbangsa dan bernegara.
“Bagi yang masih mengkampanyekan khilafah, perlu sadari betul bahwa para ulama terdahulu telah melakukan ijtiha, dan telah bersepakat atas rumusan dalam bernegara,” kata Syauqillah.
Terlebih, dalam Islam sendiri justru mengajarkan dalam konteks berbangsa dan bernegara. Dengan demikian hal-hal yang mengatur tentang kehakiman, kementerian, wilayatul qadha, serta keuangan yang juga ada dalam sejarah Islam dan merupakan produk ijtihad.
“Dalam urusan berbangsa dan bernegara tentu islam telah mengajarkan tentang menjaga bangsa, serta urusan terkait kenegaraan seperti kehakiman, maal, hingga keuangan,”terangnya.
Ia menilai perlu ada upaya nyata dari berbagai stakeholder guna mewaspadai ideologi khilafah yang kian hari semakin massif hingga masuk pada lini-lini kehidupan masyarakat. Terutama berkenaan dengan literasi masyarakat, tentang bagaimana sessungguhnya sejarah dan makna khilafah. Dan kalau ada berbagai macam versi dan sejarah sebaiknya dibaca semua dan dipertimbangkan seperti apa kebenarannya.
Selain itu, perlu adanya langkah atau kampanye yang berkesinambungan terkait narasi alternatif yang harus sesuai atau mendekati bahasa dan selera konten anak muda.Misalnya tentang terminologi kekhilafahan, khalifah, sejarah. itu kampanyenya harus simultan dan berkesinambungan.
Tidak hanya itu, dari sisi pemerintah, Syauqillah juga mengharapkan upaya konkrit guna memotong gerak kelompok radikal pengusung khilafah melalui penguatan kontra narasi dan wacana yang didiseminasikan melalaui semua lini dan sumber daya yang ada. Kedua, melalui penguatan regulasi.
“Mau tidak mau, hampir 90% ini berkenaan dengan ideologi dan harus direspon, tidak bisa didiamkan begitu saja. Harus ada regulasi yang jelas dan matang, artinya harus dengan memperhatikan hak-hak asasi warga negara karena ini terkait,” ujar Penulis Buku Ketahanan Keluarga, Paradoks Radikalisme dalam Keluarga Indonesia ini.
Menurutnya, regulasi yang diharapkan tidak hanya penindakan hukum tegas kepada pelaku. Namun juga menyediakan metode soft approach yang berisi pola pembinaan dan deradikalisasi agar siapapun yang pernah terjerumus dalam ideologi kontemporer tersebut dapat Kembali kepelukan NKRI.
“Kita punya penegakan hukum, tapi di sisi soft approach juga ditingkatkan. Sebetulnya sudah lengkap apa yang kita punya, Ini hanya fase sampai kita bisa menciptakan regulasi yang tepat. Ini akan berjalan seiring perkembangan fenomena, hasil kajian/penelitian hingga tercipta formulasi yang tepat,” pungkas Syauqillah.