Tahapan Pemilu 2024 memasuki masa kampanye. Hingga pelaksanaan hari pemungutan suara yang jatuh pada 14 Februari 2024, para peserta pemilu diberi kesempatan untuk menyampaikan visi, misi, program, dan citra diri mereka kepada publik. Supaya tak salah pilih, masyarakat diminta untuk mencermati seluruh calon pemimpin selama masa kampanye. Di tengah banyaknya calon, pemilih harus benar-benar selektif, baik terhadap calon Presiden dan Wakil Preisden maupun calon anggota legislatif di tingkat DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, maupun DPD. Hal itu penting, supaya proses demokrasi berjalan dengan baik dan masyarakat mampu menjadi pemilih yang baik.
Lebih lanjut, untuk mengetahui tentang bagaimana kriteria pemimpin dalam al-Qur’an, maka sangat penting diadakan kajian tentang nya melalui pendekatan tafsir. Agar kajian ini menjadi sistematis dan terarah, maka masalah pokok adalah bagaimana kriteria-kriteria pemimpin perspektif al-Qur’an.
Pengertian Pemimpin
Secara etimologi pemimpin adalah orang yang mampu mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar melakukan tindakan pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat proses kelompok Kemudian secara terminologis banyak ditemukan definisi tentang pemimpin.
Para pakar manajemen biasanya mendefinisikan pemimpin menurut pandangan pribadi mereka, dan aspek-aspek fenomena dari kepentingan yang paling baik bagi pakar yang bersangkutan. Sehingga Stogdil membuat kesimpulan bahwa “there are almost as many definitions of leadership as there are persons who have attemptted to define the concept. Definisi kepemimpinan sesuai dan sebanyak dengan pandangan masing-masing yang men-definisikannya. Dalam perspektif al-Qur’an, terma pemimpin dalam pengertian sebagaimana yang telah diuraikan, dapat merujuk pada term khalīfah, imāmah dan ūlu amr.
Kriteria-kriteria Pemimpin Perspektif Al-Qur’an
Sejalan dengan uraian-uraian sebelumnya, maka dapat dirumus-kan beberapa kriteria seorang pemimpin yang dipahami melalui ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan pendekatan tafsir maudhu’iy. Kriteria-kriteria tersebut dapat adalah sebagai berikut:
1. Beriman
Kriteria beriman dipahami dari QS. al-Anbiyā’ (21): 73 yang menggunakan term “األئمة “dan QS. Fātir (35): 39 dan QS. al-Hadīd (57): 7 yang menggunakan derivasi term “خليفة”. Khusus term”األئمة) al-aimmah) sebagaimana yang telah disinggung asal kata aslinya adalah al-imām.
Dalam pandangan Taba’tabā’i bahwa seorang imam haruslah beriman dan dalam posisinya sebagai pemimpin telah memperoleh hidayah, dan hal tersebut sebagai salah satu bagian dari imamah itu sendiri. Hidayah ini tidak diperoleh oleh sembarang orang, dan sembarang cara. Perolehan hidayah, sebagaimana juga perolehan kemaksuman akan didapat lewatkesabaran seorang hamba dalam menyosong pelbagai ujian dalam menuju Allah swt dan melalui keyakinannya yang mendalam.
Pada QS. al-Anbiyā’ (21): 73 Allah berfirman:
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ ۖ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ
“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah”.
Dari ayat ini Aimah (pemimpin) adalah sebagai pengikat sekaligus penghubung antar manusia dengan Tuhannya dalam hal urusan-urusan spiritual. Imam juga sebagai pembimbing bagi setiap manusia, sebagaimana Nabi saw menjadi pembimbing bagi setiap manusia untuk mencapai akidah yang kuat, dan untuk sampai pada amal-amal shalih.
Konsep seperti itu, juga dipahami dalam konsep Sunnī namun rujukannya bukan saja QS. al-Anbiyā’ (21): 73 yang menerangkan tentang imamah, tetapi juga pada ayat lain terutama ayat yang menggunakan term khalifah dan derivasinya seperti term khalā’if pada QS. Fātir (35): 39. Secara tegas setelah kata khalā’if dalam QS. Fātir (35): 39 tersebut dilanjutkan penjelasan tentang ancaman kekafiran.
Jika dikaitkan dengan masalah kriteria pemimpin, jelas sekali bahwa orang kafir tidak boleh diangkat menjadi pemimpin. Kekafiran ini adalah antitesa dari keimanan yang berarti bahwa hanya beriman adalah kriteria dan sekaligus sebagai syarat utama seorang pemimpin. Ini mengandung petunjuk, agar manusia jangan memilih pemimpin yang kafir, namun sebaliknya mereka harus memilih pemimpin yang beriman.
2. Adil dan Amanah
Adil adalah kriteria pemimpin yang ditemukan dalam QS. Shād (38): 26.
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”.
Ayat ini menerangkan tentang jabatan khalifah yang diembang oleh Nabi Dawud, di mana beliau diperintahkan oleh Allah swt menetapkan keputusan secara adil di tengah-tengah masyarakat, umat manusia yang dipimpinnya. Redaksi QS. Shād (38): 2 yang menjadi acuan utama kriteria keadilan bagi seorang pemimpin, sejalan QS. al-Nisā (4): 58 yang memerintahkan seorang pemimpin berlaku adil, dan di dahului dengan perintah untuk menjalankan amanah kepemimpinan dengan sebaik-baiknya.
Dalam ayat tersebut menandakan bahwa menetapkan hukum dengan adil tidak hanya ditujukan kepada kelompok sosial tertentu dalam masyarakat muslim, tetapi juga ditujukan kepada setiap orang yang mempunyai kekuasaan mempimpin orang lain, seperti suami terhadap istri-istrinya, dan orang tua terhadap anak-anaknya. Dengan demikian dipahami bahwa pemimpin rumah tangga, yakni orang tua harus memiliki kriteria adil terhadap anak-anaknya mereka. Sejalan dengan itu ditemukan hadis tentang kriteria adil bagi orangtua sebagai pemimpin rumah tangga, Sebagai pemimpin yang baik maka ia juga harus memiliki sifat amanah, dan hal ini disebut bersamaan dengan term adil dalam QS. al-Nisā (4): 58 yang telah di kutip tadi.
Amanah dalam pandangan Al-Maragi adalah sebuah tanggung jawab yang terbagi atas tiga, yakni (1) tanggung jawab manusia kepada Tuhan, (2) tanggung manusia kepada sesamanya, dan (3) tanggungjawab manusia terhadap dirinya sendiri.
Dengan demikian, kriteria pemimpin yang dikonsepsikan di sini adalah tidak khianat terhadap tanggungjawab yang diberikan Allah, dan jabatan apapun diberikannya dari sesama manusia, dan terhadap dirinya sendiri. Intinya adalah, bahwa seorang pemimpin yang baik harus baik pula hubungannya dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia, hablun minallāh wa hablun minannās.
3. Rasuliy
Rasuliy artinya berkepribadian seperti Rasul Allah, yakni kriteria pemimpin yang memenuhi syarat seperti yang dimiliki Rasul Allah dalam menjalankan kepemimpinan. Bila merujuk pada ayat-ayat yang telah dikutip, diketahui bahwa Rasul Allah yang dimaksud adalah Nabi Ibrāhīm as sebagaimana dalam QS. al-Baqarah (2): 124, dan Nabi Muhammad saw sebagaimana dalam QS. al-Nisa (4): 59 dan 83. QS. al-Baqarah (2): 124 menerangkan tentang penunjukan langsung kepada Ibrāhīm as dalam posisinya sebagai imamah (pemimpin), setelah beliau mendapat sederetan ujian dari Allah swt, terutama setelah memutuskan untuk mengorbankan anaknya, Ismā’il as berdasarkan perintah Allah swt kepadanya.
Sebagaimana ditegaskan sendiri oleh Alquran bahwa Ibrāhīm as, satu-satunya nabi yang dengan berbagai pengalamannya telah menemukan siapa Tuhan yang sebenarnya dan lalu ia beriman kepada-Nya. Dengan terang-terangan juga, ia menyatakan kejijikannya terhadap kemusyri-kan dan penyembahan berhala yang sedang menguasai masyarakat. Dia tidak lagi melihat jalan selain berjuang melawankemusyrikan, tanpa merasa letih dan lemah, dia berjuang menyeru manusia kepada tauhid. Inilah pengalaman hidupnya dan ujian berat yang telah dilaluinya, sehingga dia sebagai bapak agama fitrah dan sekaligus imam bagi nabi-nabi sesudahnya, sebagaimana dalam QS. al-Nahl (16): 120:
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan)”.
Berdasarkan keterangan di atas, maka kriteria pemimpin yang dikehendaki adalah telah melalui beberapa tahap ujian dan atau seleksi yang ketat (fit and proper test), memiliki segudang pengalaman, mampu memberantas kebatilan, dapat dijadikan imam (panutan), dan diteladani oleh rakyat yang dipimpinnya.
Lebih lanjut, berbicara tentang kriteria lain bagi seorang pemimpin menurut ketentuan Al-Qur’an, sangatlah luas di samping yang telah dikemukakan sebelumnya. Kriteria lain yang dimaksud misalnya, siddīq, sabar, fathanah, dan tablīg.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah