isra' mi'raj
peringatan isra miraj

Materi Ceramah Isra’ Mi’raj yang Penting Disampaikan Para Da’i

Jumlah da’i di republik ini banyak sekali. Bahkan kasus yang sempat menghebohkan publik beberapa waktu lalu membuka mata kita semua bahwa, hanya bermodalkan retorika yang bagus dan aktif di media sosial saja, bisa dengan mudah menyandang status sebagai seorang da’i (ustadz, dsb), meskipun bacaan Alqurannya masih salah-kaprah.

Adalah hal yang lumrah terjadi ketika Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) tiba, tidak sedikit da’i yang terus mengulang-ulang ceramahnya. Celakanya, materi yang diulang-ulang saban tahun itu sekedar sebuah cerita yang bisa dibaca di buku dan sejenisnya. Artinya, ceramahnya kering; tidak mengungkap makna kontekstual, kekinian dan kedisinian. Padahal, kebaruan dan kontekstualisasi itulah yang diharapkan oleh umat.

Dakwah sebagai Jalan Literasi

Literasi dalam konteks ini,  pengertian literasi merujuk pada definisi dari Kemendikbud (2006: 6), yakni kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, seperti membaca, melihat, menyimak, menulis dan menganalisis.

Literasi yang tinggi akan menghantarkan para da’i pada pemahaman yang mendalam tentang materi keagamaan yang akan disampaikan kepada umat. Tegasnya, literasi ini akan menuntun pada model dakwah yang kontekstual. Dahlan Iskan (2013) ketika memberikan sambutan pada acara penerimaan Doktor Honoris Causa pada salah satu PTAIN di Semarang memberikan penjelasan bahwa dakwah itu terbagi menjadi dua;

Dakwah tekstual, yaitu pendakwah hanya memberi materi tanpa peduli apakah audien butuh atau tidak atau bahkan sudah mengetahui materi tersebut. Kemudian model dakwah kedua adalah dakwah kontekstual, yaitu dakwah yang menjawab kebutuhan masyarakat. Inilah yang kemudian penulis istilahkan dengan dakwah yang konkret. Sebab, umat tidak cukup hanya disuguhi materi (ceramah), apalagi cerita-cerita saja, melainkan perlu sesuatu yang konkret.

Dakwah yang konkret inilah yang seharusnya menjadi agenda bersama. Namun sayang seribu kali sayang, para da’i masih belum mau ‘move on’, mereka lebih terlena dengan dakwah model ceramah yang dibumbui dengan candaan.

Kondisi tersebut tidak lepas dari paradigma dakwah yang digunakan oleh kebanyakan tokoh agama saat ini. Itulah sebab, A. Halim (2005: 11-16) dalam sebuah tulisannya menguraikan paradigma keliru dalam dakwah.

Pertama, dakwah diartikan secara kaku, yakni sebagai kegiatan ceramah. Menyampaikan materi keislaman yang disarikan dari Alquran, hadis dan pendapat para ulama. Walhasil, kesuksesan dakwah ini dilihat dari seberapa banyak undangan atau umat yang hadir.

Kedua, sasaran dakwah adalah umat yang statis dan masih awam tentang informasi keagamaan. Kondisi ini tentunya akan melahirkan pola dakwah searah, tidak ada diskusi atau tanya jawab (interaktif). Padahal, dakwah itu idealnya harus sesuai atau menjawab problem umat.

Ketiga, dakwah dimaknai sebagai sebuah tugas orang yang mengerti agama saja. Artinya, apabila seseorang mendapatkan predikat sebagai juru dakwah, maka ia akan menganggap semua itu sebagai sebuah kewajiban belaka. Jika sudah menyampaikan, maka kewajiban itu dianggap gugur. Tak memikirkan apakah dakwah yang disampaikan sesuai dengan kebutuhan umat dan sudah bisa menjawab problem keumatan atau belum, bukan urusannya.

Itulah mengapa, dakwah bil lisan masih dominan di Indonesia. Oleh sebab itu, pola dakwah yang demikian harus mulai dibenahi agar umat Islam bisa menjadi umat yang mandiri; mandiri secara keilmuan maupun finansial. Dakwah kontekstual atau tausiyah yang konkret adalah salah satu jalan untuk mewujudkan cita-cita mulia itu.

Kontekstualisasi Peristiwa Isra Mi’raj

Jujur harus diakui bahwa banyak da’i yang pandai berteori, namun minim aksi. Memang yang demikian itu terasa tidak mengenakkan hati, namun inilah fakta yang terjadi selama ini. Sebagai contoh ketika memasuki bulan Rajab, tepatnya pada momentum Isra’ Mi’raj. Jarang sekali da’i yang mengungkapkan makna Isra’ Mi’raj dalam konteks kekinian dan kedisinian.

Padahal, jika dikontekstualisasikan atau refleksikan, peristiwa Isra’ Mi’raj tidak sekedar peristiwa perjalanan Nabi belaka, namun juga memuat nilai-nilai sebagai berikut:

Pertama, pendidikan karakter.

Kemuliaan manusia terletak pada karakternya. Pembentukan karakter bisa didapat melalui ajaran-ajaran dalam agama, salah satunya peristiwa Isra’ Mi’raj. Rifqi Muntaqo dan Alfin Musfiah dalam kajiannya terhadap peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad menemukan nilai-nilai Isra’ Mi’raj sebagai pembentukan karakter generasi millenial, yaitu jujur, adil, amanah dan istiqomah.

Kedua, nilai-nilai shalat.

“Oleh-oleh” Isra’ Mi’raj Nabi adalah risalah kewajiban shalat lima waktu. Kewajiban shalat ini menyimpan makna yang luar biasa bagi kehidupan kita saat ini. Sebab, ada makna kontekstual shalat itu sendiri. Imam Nur Suharsono (2019) mengungkap makna itu sebegai berikut:

Pertama, mendidik seorang Muslim untuk senantiasa membersihkan sifat-sifat buruk dalam diri. Hal ini sebagaimana dalam firman-Nya: ”Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS al-Ankabut [29]: 45). Dengan demikian, shalat sudah seharusnya menjauhkan diri kita dari hoax dan radikalisme.

Kedua, terdapat nilai kesatuan dan persatuan umat. Orang yang mendirikan shalat pasti memiliki niat yang sama, yakni menyembah Allah dan menghadap ke arah yang sama dan afdlonya dikerjakan secara berjamaah. Shalat ini mengajarkan kepada umat bahwa jamaah (persatuan) itu tidak hanya di dalam shaf saja, melainkan di luar shaf, umat Islam harus bersatu.

Persatuan ini dibutuhkan dalam konteks apapun, lebih-lebih dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka, sebagai seorang muslim yang baik, harus bisa menjadi orang Indonesia yang baik pula.

Ketiga, terdapat ketaatan kepada pemimpin. Dalam shalat berjamaah, seorang makmum harus mengikuti gerakan imam. Memang hal ini terasa sangat sederhanya. Namun, jika dimaknai secara lebih detail, maka dalam aktivitas tersebut ada nilai luhur, yakni ketaan kepada pemimpin. Tentu ketaan itu bukan ketaatan yang mengarah pada ‘pemujaan’ atau fanatisme.

Selama pemimpin itu lurus, maka wajib ditaati. Hal ini sesesuai dengan sabda Nabi: ”Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah SWT.” (HR Ahmad).

Demikianlah sedikit dari banyaknya makna kontekstual dari peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Semoga artikel ini dapat memberikan manfaat, minimal para da’i satu pemahaman bahwa paradigma dakwah kontekstual harus digaungkan dan menjadi gerakan bersama agar problem umat pelan-pelan terpecahan.

Bagikan Artikel ini:

About Fauziyatus Syarifah

Mahasiswi magister program PAI UIN Walisongo Semarang

Check Also

hemat

Kenapa Pengeluaran Tiap Ramadan Malah Boros? Simak Tips Ini Agar Tidak Boncos!

Sebagian besar umat Islam tentu merasakan bahkan juga mengalami kalau setiap bulan Ramadan, pengeluaran suka …

ramadan

Sambut Ramadan dengan Bekal 4 Ilmu Ini Supaya Ibadah Kamu Sah dan Tidak Sia-sia!

Islam adalah agama wahyu. Alquran sebagai wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhammad, adalah pedoman bagi …