lakum dinukum wa liyadin
ayat

Tafsir Surat al-Isra’ 1 : Isra’ dan Mi’raj adalah Keajaiban Ilahi

“Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, yang telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. al Isra’: 1).

Dalam tafsir at-Thabari, ayat ini sebagai penegasan Allah terhadap kesucian-Nya dari segala praduga orang musyrik yang menduga Allah butuh pada makhluk ciptaan-Nya, Dia punya kerabat dan memiliki anak. Ini adalah celaan dan bantahan terhadap kebodohan dan kesalahan mereka.

Ayat ini berbicara tentang kisah Isra’ dan Mi’raj Rasulullah sebagai salah satu peristiwa penting kenabiannya. Banyak memang orang yang meragukan kejadian tersebut dengan nalar manusia. Sehingga bagian ini sering dipandang sebagai hayalan. Itu sejak dulu respons masyarakat jahiliyah maupun saat ini yang masih meragukannya.

Lebih lanjut Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, redaksi “Maha Suci Allah” menunjukkan keagungan Allah yang tak tertandingi oleh siapapun. Kecuali Allah, tidak ada yang akan mampu menjalankan Nabi Muhammad dari Makkah ke Palestina terus naik ke Sidratul Muntaha dalam waktu kurang dari semalam. Tidak ada satu kekuatan pun yang mampu melakukannya kecuali Allah.

Dalam satu riwayat disebutkan, setelah Nabi melakukan perjalanan sakral tersebut, tempat tidur Nabi masih hangat dan bekas air wudhunya belum kering. Hal ini menandakan suatu keajaiban maha luar biasa. Tidak akan ada yang bisa melakukannya, kecuali Allah.

Oleh sebab itu, lanjut Ibnu Katsir, kalimat “Maha Suci” disebut oleh Allah untuk mengagungkan dzat-Nya sendiri dan keadaan-Nya. Ayat ini merupakan pernyataan Allah bahwa tidak ada yang mampu melakukan seperti apa yang telah terjadi, yakni isra’ dan mi’rajnya Nabi.

Al Tsa’labi dalam tafsirnya mempertajam makna Maha Suci dengan arti keajaiban yang menakjubkan. Peristiwa sangat luar biasa yang tak bisa dinalar secara akal.

Al Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan, tidak menyertakan kalimat Allah setelah “asra” adalah sebagai bukti kebesaran Allah. Juga tidak menyebut Nabi dengan Nabi atau Rasul tapi dengan hamba-Nya. Hal ini, sebagaimana dikatakan al Qusyairi dalam tafsirnya, karena hanya hamba yang mampu memahami kebesaran Tuhannya. Posisi sebagai hamba akan mengimani kejadia apa saja yang dilakukan oleh Allah, sekalipun menurut akal adalah mustahi.

Menurut pendapat lain supaya Nabi Muhammad terhindar dari rasa bangga (‘ujub). Dan, ada pula yang berpendapat, tidak menyebut Nabi dengan nama adalah bentuk tawadhu’nya Rasulullah.

Dengan demikian, ayat di atas sebagai penegas dari Allah bahwa perjalanan isra’dan mi’raj adalah nyata karena Allah sendiri yang melakukannya. Kebenaran yang harus diimani meskipun akal sehat menolaknya.

Bagi yang berpikir dengan dasar kekuasaan Allah, bukan pandangan akal, pasti akan mempercayainya. Namun bagi mereka yang lemah atau tidak iman sedikitpun dalam dadanya pasti tidak akan percaya. Seperti nyinyiran Abu Jahal yang tidak percaya dengan isra’ dan mi’raj.

Bagikan Artikel ini:

About Khotibul Umam

Alumni Pondok Pesantren Sidogiri

Check Also

sirah nabi

Pesan Nabi Menyambut Ramadan

Bulan Ramadan, atau di Indonesia familiar dengan sebutan Bulan Puasa, merupakan anugerah yang diberikan Allah …

imam ahmad bin hanbal

Teladan Imam Ahmad bin Hanbal; Menasehati dengan Bijak, Bukan Menginjak

Sumpah, “demi masa”, manusia berada dalam kerugian. Begitulah Allah mengingatkan dalam al Qur’an. Kecuali mereka …