maulid nabi
maulid nabi

Maulid Nabi yang Kita Pahami

Memasuki bulan Rabiul Awwal, bulan kelahiran Nabi, penulis merasa perlu untuk mengkaji kembali tradisi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat kita serta tuntunan yang telah ditetapkan oleh syari’at. Mengingat perarayaan kelahiran Nabi disambut dengan begitu antusias oleh mayoritas dalam kalangan umat Islam di Indonesia itu sendiri. Baik perayaan yang dilakukan secara sederhana di rumah-rumah warga, sampai berupa pengajian akbar dilengkapi dengan panggung megah yang biayanya tidak sedikit.

Mengutip kumparan.com (19/10/21), bahwa masyarakat Indonesia beragam dalam memeriahkan peringatan maulid Nabi SAW, seperti kirab ampyang di Kudus, Jawa Tengah, nasi dibungkus menggunakan daun jati, dirangkai menyerupai gunungan yang juga diisi dengan buah dan sayur kemudian diarak ke jalan menggunakan tandu. Di keraton Jogja dikenal dengan grebeg maulud. Di keraton Cirebon disebut panjang Jimat. Dan di wilayah Madura masyhur dengan istilah muludhen. Dan lainnya yang semuanya berjumlah 7 macam peringatan kelahiran Nabi di berbagai daerah di Nusantara.

Masyarakat Indonesia mengenal perayaan kelahiran Nabi bersamaan dengan penyebaran Islam pertama kali oleh wali songo. Mereka melakukan akulturasi dengan budaya lokal. Sehingga dakwahnya tidak mendapat perlawanan dari penduduk setempat. Sebelum Islam datang, masyarakat pribumi telah menganut animisme dan dinamisme yang di antaranya percaya terhadap mistisme. Dari sanalah Islam dibukakan pintu yang lebar untuk menyebarkan ajarannya, selain memang tidak secara langsung menentang terhadap kepercayaan nenek moyang, juga terdapat beberapa kesamaan.

Menurut Abdul Hadi (2006), terdapat tiga pola penyebaran dakwah Islam di Indonesia, salah satunya secara dialogis. Islam dituntut bersifat terbuka atau dialogis terhadap ajaran nenek moyang seperti hindu dan buddha. Dengan cara tersebut, Islam tidak mendapat perlawanan dari penduduk pribumi. Dari proses dialog tersebut maka lahir berbagai tradisi keagamaan yang berlangsung sampai saat ini seperti tahlilan, aqiqah, idul fitri, idul adha, isra’ mikraj dan maulidan.

Tetapi, tidak semua umat Islam menerima terhadap akulturasi Islam dan budaya lokal. Bahkan ditarik lebih dalam lagi terhadap acara-acara seremonial seperti kasus perayaan kelahiran Nabi yang ramai diselenggarakan, khususnya di bulan ini. Tidak tanggung-tanggung mereka membid’ah-bid’ahkan kegiatan seperti maulid nabi Saw. Mereka berbicara bukan hanya di masjid-masjid, tetapi di berbagai platfrom dunia maya.

Sebagian ulama yang pro terhadap perayaan maulid nabi menanggapi komentar buruk golongan yang tidak suka terhadap perayaan maulid nabi. Salah satunya Sayyid Muhamamd Alawi al Maliki al Hasani, para guru aswaja ulama Nusantara, dengan dalil bahwa Nabi Muhammad berpuasa di hari senin sebagai hari kelahirannya. Atau riwayat yang menjelaskan bahwa Abu Lahab mendapatkan  keringanan siksa api neraka di hari Senin karena telah bergembira atas kelahiran Nabi Muhammad.

Pandangan ulama di atas juga dibantah oleh mereka yang tidak sepakat terhadap beberapa hujjah tadi. Menurut mereka (baca: kontra) alasan tersebut hanya sebatas kegembiraan dan atau apabila hanya ingin mengikuti Nabi adalah berpuasa di hari Senin bukan lantas membuat acara seremonial setiap tahun. Dan tidak jarang, mereka yang tidak sepakat mengaitkan perayaan yang dilakukan oleh umat Islam mengikuti terhadap berbagai perayaan yang dikerjakan oleh umat-umat terdahulu. Dan baginya hal tersebut adalah sebuah keharaman. Karena umat terdahulu melakukan perayaan terhadap tuhannya dengan menyalakan lilin, menghidangkan beraneka makanan serta mengadakan hal-hal yang diharamkan.

Menurut paradigma pendukung perayaan maulid Nabi, seremonial perayaan maulid nabi disamakan dengan buku. Bedanya buku ditulis, sedangkan sejarah Nabi tidak ditulis melaikan dibacakan kepada khalayak, khususnya kepada mereka yang masih anak-anak. Mereka baru mengenal terhadap sang idola umat Islam. Bahkan disampaikan dalam bentuk syi’ir seperti diba’, barzanji, dan qasidah burdah. Dan prilaku tersebut hanya bersifat formal (mahdah) melainkan hanya sebatas muamalah.

Tradisi Maulid di berbagai negara memiliki ciri khasnya tersendiri. Di mesir, peringatan maulid Nabi dirayakan dengan membuat boneka dari manisan yang dikenal Arouset al-Moulid. Brunai Darussalam melaksanakan pararakan agung, sultan dan rakyatnya berjalan menyusuri kota bandar Seri Begawan dengan menggunakan pakaian menarik dan membaca salawat sepanjang jalan. Turki merayakan maulid nabi di berbagai masjid, rakyat datang berbondong bondong untuk berdoa dan membaca puji-pujian, juga tradisinya yang khas adalah tarian Darwis. Begitupun dengan berbagai negara lain yang penduduknya beragama Islam memiliki keunikan dan makna tersendiri.

Prof. Quraish Shihab dalam acara Shihab & Shihab bersama Najwa Shihab menjelaskan, bahwa makna dari perayaan maulid Nabi yang menjadi landasan pengamalan para ulama adalah  firman Allah Swt QS Yunus ayat 58:

قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا۟ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.

Tanpa dipungkiri, beliau (Qurasih Shihab) mengkritisi perayaan yang dilaksanakan dengan cara yang tidak benar, diiringi dengan tarian tarian yang menyalahi syariat. Dan yang terpenting beliau juga sangat menekankan terhadap perayaan maulid menghabiskan dana yang tidak sedikit atau mewah, tetapi lingkungan di sekitar masih terjadi gap. Banyak orang miskin yang masih hidup di sekitarnya.

Kembali lagi, melihat berbagai macam cara merayakan maulid nabi di berbagai tempat juga waktu, menandakan bahwa Islam dan ajarannya berkembang dengan sangat pesat, dengan keunikan penduduk daerah yang memeluknya. Karena sejatinya ajaran Islam yang tekstual harus dikembangkan dengan aplikasi yang kontekstual, sehingga Islam menjadi Shalihun li Kulli Zaman Wa Makan (relevan dengan perkembangan situasi dan kondisi).

Akhirnya, bahwa maulid nabi Muhammad telah dilakukan sejak islam baru berkembang di jazirah Arab. Kemudian terus berkembang ke seluruh negeri dari timur sampai barat. Begitupun dengan ritual keagamaan, banyak cara yang dilakukan oleh umat Islam dalam memeriahkan dan menyebarkan ajarannya. Beberapa perbedaan ulama tentang perayaan maulid nabi telah terjadi semenjak dahulu kala. Tetapi untuk sekarang, sudah tidak relevan lagi. Karena sejatinya, kita dituntut untuk saling melengkapi bukan menyalahkan. Dan bersyukur dan bergembira atas kelahiran nabi kita dengan cara yang tidak melanggar syari’at tidak pernah dilarang dalam agama. Wallahu A’lam.

Bagikan Artikel ini:

About Ahmad Rofiq

Check Also

jangan takut berpuasa

Rapor Puasa: Mengevaluasi Tindakan Kita terhadap Makanan

Ramadan merupakan bulan yang wajib bagi umat Muslim untuk melaksanakan puasa selama satu bulan penuh. …

pola makan

Posting Makanan atau Minuman di Siang Hari Bulan Puasa, Bagaimana Hukumnya?

Puasa Ramadan merupakan salah satu rukun Islam. Perbuatan menahan diri dari makan, minum dan segala …