Di antara persoalan umat Islam yang kerap kali terjadi adalah penentuan awal Ramadan. Ini karena perbedaan metode dalam menetapkan awal bulan yang mulya tersebut. Setiap kelompok dalam Islam memegang metode tersendiri dalam menetapkan awal Ramadlan. Inilah sebenarnya pemicu perbedaan umat Islam ketika hendak meninggalkan bulan Sya’ban.
Di dalam Islam, setidaknya ada tiga metode dalam menetapkan awal Ramadan. Ketiga metode tersebut yaitu:
1. ru’yatul hilal (melihat hilal).
Metode ini biasa disebut dengan metode ru’yah. Metode ini berdasarkan hadits Nabi saw:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Artinya: “Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berhentilah karena melihat hilal. Jika saat itu mendung, maka sempurnakanlah bulan sya’ban sebanyak 30 hari” (HR. Bukhari, Muslim dan lainnya)
Metode ru’yah ini memungkinkan bisa digunakan ketika cuaca cerah, namun ketika mendung, maka sulit sekali untuk melihat hilal tersebut. Sebab itu, maka Rasulullah saw memberi alternatif lain ketika metode ru’yah ini tidak mungkin bisa dilaksanakan karena semisal mendung, yaitu dengan menyempurnakan bulan Sya’ban sebanyak 30 hari.
Pada metode ini, ulama semua sepakat bahwa metode ru’yah dapat dijadikan dasar penetapan hukum.
2. Metode Hisab.
Yaitu sebuah metode menentukan awal bulan Ramadan dengan perhitungan secara matematis dan astronomis dalam menentukan posisi hilal. Sehingga menurut metode ini, tidak penting melihat bulan secara kasat mata, yang penting sudah ada maka sudah dapat ditetapkan awal bulan Ramadlan.
Sebagian kelompok dalam Islam, lebih cenderung menggunakan metode ini dibanding metode sebelumnya. Menurutnya, metode hisab lebih akurat dalam menentukan awal bulan. Sehingga jauh sebelumnya, awal bulan Ramadlan sudah dapat diprediksi akan jatuh hari apa melalui metode hisab ini.
3. Metode Nujum.
Sebagian umat Islam percaya bahwa peredaran bintang dapat dijadikan tanda-tanda terhadap perubahan alam. Melalui penelitiannya, perubahan posisi bintang pada waktu-waktu tertentu akan kembali kepada posisi yang semula. Sehingga kebiasaan alam yang terus menurus dapat dijadikan pedoman dalam menentukan awal bulan. Sebagaimana Kaidah Fiqh:
اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
Artinya: “Kebiasaan dapat dijadikan dasar hukum”
Dari ketika metode penetapan awal bulan di atas, menurut mayoritas ulama hanya pada metode pertama yang bisa dijadikan alat menetapankan awal Ramadlan. Sementara pada metode kedua dan ketiga, ulama psimis menggunakannya. Lantaran kewajiban puasa dikaitkan dengan melihat hilal bukan dengan adanya hilal sebagaimana hadits di atas[1]. Namun demikian sebagian ulama ada yang membolehkan menggunakan kedua metode tersebut seperti Ibn Rif’ah, Az Zarkasyi dan As Subky, bahkan merunur Shihab al Ramli bagi orang yang menggunakan kedua metode di atas, wajib berpuasa jika metode yang mereka gunakan sudah menunjukkan awal Ramadlan. Begitu juga wajib bagi orang-orang yang meyakini kebenaran yang disampaikan oleh pengguna kedua metode tersebut[2].
Wallahu a’lam
[1] Wahbah al Zuhaili, al Fiqh al Islam wa Adillatuh, Juz 3, Hal 34
[2] Ali bin Hasan Baharun, al Syamsu al Munirah, Juz 2, Hal 268