menghukumi perayaan
menghukumi perayaan

Menghukumi Perayaan Tahun Baru Masehi

Selemah itukah iman kaum muslimin sehingga tidak harus berbaur dalam kehidupan sosial nyata? Atau sekeras itu sikap umat Islam sehingga harus mengisolasi diri dari perubahan zaman yang terus menggelinding dan berubah setiap waktu?

I’tizal adalah sikap mengurung diri. Nasehat itu muncul dari Sayyid Quthb yang menganjurkan umat Islam harus mengurung diri dari masyarakat yang dianggap telah tercemari dengan bid’ah dan pelanggaran terhadap ajaran Islam. Masyarakat muslim sejati adalah meninggalkan dan mengisolasi dari kondisi masyarakat yang saat ini dipandang jahiliyah.

Memang ada keserampangan yang sangat ekstrim dengan menganggap kondisi umat saat ini di manapun tempatnya dan seberapa sering mereka melaksanakan ibadah dan menjaga iman dianggap sebagai munafik dan murtad. Seluruh kaum muslimin yang berbeda dianggap berada dalam kondisi jahiliyah.

Persoalan mindset I’tizal dan jahiliyah mendorong umat Islam untuk menghukumi apapun yang dianggap bukan ajaran Islam, sekalipun untuk kepentingan sosial. Pertanyaannya, sejauhmana kita mengisolasi dan memboikot sesuatu yang bukan dari Islam dalam kehidupan sehari-hari?

Pertanyaan berikutnya apakah merayakan tahun baru adalah bentuk kemurtadan, kemunafikan, kekafiran dan perilaku bid’ah? Bukankah penentuan kelender Islam juga bukan suatu ajaran, tetapi pengingat umat dan produk hasil ijtihad sahabat.

Kalender masehi adalah produk sejarah yang saat umum digunakan secara global. Tentu saja ada produk penentuan tahun yang lain semisal Islam, China, India dan Bahkan Nusantara sekalipun. Namun, apakah dengan mengikuti penanggalan yang lazim berarti kita menggadaikan akidah kita? Apakah merayakan pergantian tahun berarti mengikuti sejarah romawi dalam penyembahan dewa pada masa lalu?

Menjadi sangat geli terdengar jika kita mengatakan dengan menggunakan produk teknologi yang bukan dari Islam berarti kita menggadaikan akidah. Atau menggunakan FB, Twitter dan IG dan produk teknologi lainnya berarti kita tasyabuh dengan keimanan para pembuatnya.

Kenapa umat ini didorong untuk takut menghadapi perbedaan dan berbaur dengan perubahan zaman? Waktu dalam Islam adalah hal penting. Bahkan perubahan waktu menjadi penanda bagian ibadah umat Islam. Kita tidak bisa lari dari perubahan waktu dan perubahan zaman. Dan pergantian waktu adalah momentum apakah kita menjadi orang yang beruntung atau merugi. Sesuai dengan firman Allah SWT :

وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al ‘Ashr)

Inilah kearifan para pendakwah Islam pada zaman dahulu yang tidak I’tizal tetapi membaur dan mengisi ruang perayaan kultural dengan nafas Islam. Wali Songo misalnya tidak membuang adat istiadat dan tradisi, tetapi menjadikannya sebagai ruang untuk penguatan ajaran Islam.

Malam pergantian tahun baru dan perayaannya tentu akan bertentangan dengan Islam jika diisi dengan aktifitas kemaksiatan. Namun, momentum itu menjadi berharga bagi umat untuk melakukan intropeksi, dzikir bersama dan menguatkan persaudaraan dan silaturahmi.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Pancasila Jaya

Intoleransi Akar Masalah Radikalisme dan Terorisme, BPIP: Bumikan Pancasila

Makassar – Pancasila adalah ideologi bangsa yang telah terbukti mampu mempersatukan Indonesia dari berbagai keberagaman …

persatuan

Khutbah Jumat : Bulan Syawal Momentum Memperkokoh Ukhuwah dan Persatuan Bangsa

Khutbah I   اَلْحَمْدُ للهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى …