nabi nuh

Menguak Dimensi Ekonomi dalam Kehidupan Para Nabi (2): Nabi Nuh dan Prinsip Kemandirian Diri

Ketika mendengar Nabi Nuh, maka yang terlintas di benak kita adalah kegigihan berdakwah dan bahtera (kapal). Segi ekonomi jarang dikupas. Padahal, di dalam kehidupan Nabi Nuh yang syarat akan sejuta hikmah, terdapat dimensi ekonomi yang perlu digali dan dijadikan sebagai sebuah inspirasi.

Sebagaimana diketahui bahwa Nabi Nuh merupakan salah satu dari 25 Nabi dan Rasul yang wajib diketahui oleh umat Islam. Beliau merupakan Nabi yang gigih dalam berdakwah. Bagaimana tidak. Beliau merupakan nabi yang melakukan dakwah selama 500 tahun dan meninggal di usia 950 tahun. Nabi Nuh AS diutus oleh Allah SWT di antara kaum penyembah berhala.

Selama dakwah yang dilakukan oleh Nabi Nuh hingga ratusan tahun, tidak banyak yang ikut. Hanya ada 70 hingga 80 orang yang mengikuti dan beriman kepada Allah SWT. Hal ini disebutkan di dalam al-Qur’an QS. Hud ayat 40.

Dalam ayat lain, disebutkan bahwa masyarakat yang keras kepala dan susah diajak untuk beriman, sempat menjadikan Nabi Nuh hampir putus asa, sebagaimana tercermin dalam QS. Nuh ayat 26-27:

Dan Nuh berkata, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka hanya akan melahirkan anak-anak yang jahat dan tidak tahu bersyukur.”

Permintaan Nabi Nuh tersebut dikabulkan, kemudian Allah pun menurunkan hujan dan mendatangkan banjir bandang yang dapat menenggelamkan kaum Nabi Nuh dan kaum yang beriman dan ikut apa petuah Nabi Nuh selamat.

Yang menarik adalah, banjir yang didatangkan oleh Allah SWT kepada kaum Nabi Nuh terjadi setelah Nabi Nuh dan para kaum yang setia kepada Nabi Nuh membuat kapal. Konon, pembuatan kapal yang dilakukan oleh Nabi Nuh memakan waktu 40, bahkan ada riwayat yang menyebutkan 100 tahun lamanya.

Diolok-olok Kaumnya

Selama mempersiapkan pembuatan kapal besar selama ratusan, bahkan ribuan tahun itu, Nabi Nuh sembari melakukan dakwah, menyerukan agar kaumnya beriman kepada Allah SWT. Membuat kapal besar dimulai dengan menanam pohon, memotong dan menggergajinya sesuai dengan ukuran dan kebutuhan pembuatan bahtera atau kapal besar.

Langkah Nabi Nuh membuat kapal ternyata diolok-olok kaumnya kala itu. Mereka berkata: “ia membuat kapal di darat, lalu bagaimana berjalannya?” dan perkataan bernada mengejek lainnya. Namun, dengan visi yang besar, Nabi Nuh pun tetap teguh para pendiriannya.

Prinsip Kemandirian

Para Nabi, tanpa terkecuali Nabi Nuh AS, diutus Allah ke muka bumi dengan bekal keterampilan dan ilmu pengetahuan yang sangat mumpuni, bahkan di atas rata-rata manusia biasa.

Keterampilan dan ilmu pengetahuan yang mumpuni tersebut menjadikan para Nabi mempunyai prinsip kemandirian yang tinggi, bahkan tidak membutuhkan harta benda masyarakat dimana dia tinggal dalam kepentingan dakwahnya.

Hal itu juga dilakukan oleh Nabi Nuh. Bahwa membuat bahtera yang sedemikian besar dan gagahnya tentu membutuhkan kerja keras, cerdas dan ikhlas. Selain itu, hikmah utama yang bisa dipetik dari kisah Nabi Nuh adalah prinsip kemandirian dalam kerja ekonomi.

Bahwa Nabi Nuh AS dalam membuat kapal, berusaha memproduksi bahan dasarnya secara mandiri, tidak mengandalkan orang lain. Hal ini menjadi pelajaran penting bagi suatu negara, terutama di Indonesia, dimana banyak proyek strategis yang dibangun menggunakan utang luar negeri.

Selain itu, dalam hal pangan misalnya, Indonesia juga masih mengandalkan impor dari negara lain. Padahal, jika hendak menjadi negara maju dan berdikari, maka hendaknya pemerintah benar-benar serius untuk mewujudkan swasembada pangan dan itu memang dibutuhkan sebuah kesabaran, ketekunan dan perhitungan secara cermat.

Selain itu, sebagaimana dikutip dari buku karya Masykuri Machfudz (2015), keberhasilan Nabi Nuh menyelamatkan dirinya dan kaumnya ditempuh melalui tiga usaha; pertanian (menanam pohon untuk memenuhi kebutuhan pokok industri), pertukangan (menyiapkan kayu yang sesuai dengan kebutuhan pembuatan kapal), dan industri (merakit kayu sehingga menjadi kayu). Dan inilah nilai-nilai kemandirian yang harus dicapai oleh umat Islam.

Kemandirian diri juga tercermin begitu kental dalam diri Nabi Nuh. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam QS. Hud ayat 29: “Dan wahai kaumku! Aku tidak meminta harta kepada kaum (sebagai imbalan) atas seruanku. Imbalanku hanyalah dari Allah”.

Apa yang dilakukan oleh Nabi Nuh adalah sebuah teladan akan pentingnya sebuah kemandirian diri agar ketika berdakwah tidak dalam rangka berupaya mendapatkan upah dan harta dari kaumnya.

Bagikan Artikel ini:

About Muhammad Najib, S.Th.I., M.Ag

Dosen Ekonomi Syariah Sekolah Tinggi Ekonomi dan Perbankan Islam Mr. Sjafruddin Prawiranegara Jakarta, mahasiswa Program Magister Universitas PTIQ dan Mahasiswa Program Doktoral UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Check Also

money politic

Benarkah Money Politik Bagian dari Jihad? Bisa Iya, Bisa Tidak!

Menarik apa yang disampaikan oleh Fauziyatus Syarifah dalam ulasannya di kolom Afkar Islam Kaffah tentang …

hutang

Menjadikan Utang sebagai Pemenuhan Gaya Hidup? Begini Pandangan Islam

Tentu kita semua sepakat bahwa utang adalah bagian integral dari kehidupan manusia. Artinya, hampir tidak …