sampah di sungai

Menguji Efektivitas Fatwa Membuang Sampah ke Laut, Sungai, dan Danau Diharamkan

Beberapa hari lalu MUI mengeluarkan fatwa penting dan patut dipuji bahwa membuang sampah ke sungai, danau, dan laut hukumnya haram. Alasan utamanya cukup jelas; perbuatan itu mencemari sumber air, membahayakan kesehatan manusia dan makhluk lain, serta merusak lingkungan.

Di balik fatwa ini ada pernyataan tegas dan pesan teologis dan moral yang lebih dalam, yang mesti kita renungkan bersama. Dalam Islam, air bukan sekadar kebutuhan fisiologis — ia adalah hak hidup, adalah amanah ilahi sebagai sarana kehidupan bagi seluruh makhluk.

Air bersih berarti keselamatan, sanitasi, dan keberlangsungan lingkungan. Maka ketika seseorang melempar sampah ke sungai — lalu air itu tercemar, makhluk hidup mati, masyarakat sakit — dampak perbuatan itu bukan semata individual, tetapi kolektif.

MUI dalam fatwanya menegaskan: pengelolaan sampah adalah bagian dari mu‘āmalah — interaksi sosial-ekologis yang mengandung tanggung jawab moral. Dengan kata lain, menjaga alam bukan ekstra-kursus moral — ia bagian dari iman dan akhlak seorang Muslim.

Ajaran Islam memberi manusia posisi sebagai khalifah di bumi — pengelola, pemelihara, dan penanggungjawab atas alam (QS. Al-Baqarah, QS. Luqman, dan banyak ayat lainnya). Tindakan merusak lingkungan — termasuk membuang sampah sembarangan — berarti melanggar amanah itu.

Lebih jauh, Islam melarang perbuatan yang merusak bumi. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya…” (QS. Al-A‘rāf: 56). Membiarkan sungai penuh sampah, laut tercemar, adalah bagian dari kerusakan itu — bentuk manusia yang lupa bahwa bumi adalah titipan, bukan milik semata.

Para ulama fiqih lingkungan modern pun menegaskan bahwa sampah adalah persoalan hukum — bukan hanya soal kebersihan atau estetika. Dalam penelitian fiqih lingkungan, pengelolaan sampah merupakan kewajiban kolektif untuk mencegah kerusakan, menjaga kesehatan manusia serta makhluk lain, dan memastikan keberlanjutan alam

Mengimplementasikan Fatwa

Fatwa MUI tahun 2025 ini bukan cuma pernyataan teoretis. Ia disertai pedoman konkrit yang menyentuh — mulai dari tingkat individu hingga institusi:

  • Masyarakat diimbau meminimalkan plastik sekali pakai, memilah sampah, memanfaatkan kembali barang layak pakai, dan membawa sampah ke tempat pembuangan resmi.
  • Pelaku usaha dan industri dilarang membuang limbah ke sungai/laut; dianjurkan menggunakan material ramah lingkungan, mendaur ulang, dan mendukung program lingkungan.
  • Sekolah, rumah ibadah, dan komunitas diberi mandat untuk menjadi green school / green institution — tidak hanya sebagai slogan, tetapi praktik nyata melalui pengelolaan sampah, edukasi lingkungan, dan kampanye sadar lingkungan.

Fatwa ini tak memberi ruang bagi sikap “asal buang”. Ia mendorong umat Islam untuk merefleksikan hubungan mereka dengan alam, menjadikannya bagian dari praksis keimanan — bukan opsi moral sekunder.

Kenapa Implementasi Fatwa Mendesak Sekali

Dunia saat ini tengah menghadapi krisis lingkungan — polusi, perubahan iklim, degradasi habitat, krisis air, hingga bencana alam yang kerap dirasakan masyarakat. Indonesia khususnya, dengan geografis luas dan komunitas pesisir besar, sangat rentan.

Jika kita mengabaikan fatwa dan panduan ini, kita tidak hanya melanggar hukum agama — tetapi juga menambah potensi bencana. Sampah di sungai memperparah banjir, mematikan ekosistem air, merusak pesisir, hingga mempengaruhi kesehatan manusia. Itulah sebabnya fatwa ini hadir bukan sekadar sebagai deklarasi simbolik, melainkan sebagai panggilan sadar: bahwa menjaga alam adalah bagian dari keimanan dan kemanusiaan.

Fatwa MUI adalah jembatan antara teks suci dan realitas lingkungan hari ini. Ia mengajak umat Islam untuk tidak berhenti pada dzikir, shalat, atau ritual — tetapi membawa iman itu ke ranah mu‘āmalah: hubungan manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.

Implementasi fatwa ini bisa jadi awal kebangkitan etika lingkungan di masyarakat. Dimulai dari hal kecil: membawa tumbler sendiri, memilah sampah rumah tangga, ikut kerja bakti kebersihan, memilih produk ramah lingkungan, hingga menolak budaya “buang ke sungai saja”. Ketika kesadaran tumbuh, kita bukan sekadar menjaga sungai dan laut — kita menjaga kehidupan, menjaga fitrah bahwa bumi adalah milik bersama, bukan harta terbuka untuk digadai dan dipenggal.

 

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Ketum Muhammadiyah Haedar Nashir copy

Muhammadiyah Serukan Kebersamaan Nasional Hadapi Bencana

Purwokerto — Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir menegaskan pentingnya kebersamaan seluruh elemen …

ketum mui kh anwar iskandar dalam orientasi pengurus mui 251229054426 764

Ketum MUI Ajak Masyarakat Semarakkan Tahun Baru dengan Doa Bukan Hura-Huran Dan Bermaksiat

JAKARTA — Pergantian tahun baru dari 2025 menuju 2026 tinggal menghitung hari, ditengah berbagai musibah …