media sosial 231201163833 131

MUI Minta KPI Tidak Hanya Awasi TV-Radio Tapi Juga Konsen Ke Medsos

JAKARTA — Beberapa tahun yang lalu Televisi dan Radio menjadi sarana informasi yang sangat signifikan bagi masyarakat, informasi dari kota maupun dari desa dapat tersaji kepada masyarakat luas melalui kanal-kanal televisi maupun radio. Namun belakangan televisi dan radio mulai perlahan ditinggalkan oleh masyarakat digantikan oleh media sosial yang lebih cepat menginformasikan berbagai kejadian dipusat hingga daerah.

Dilansir dari laman republika.co.id Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendukung perluasan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) agar tidak hanya mengawasi siaran televisi dan radio. KPI pun dinilainya mampu tetapi mengawasi konten-konten di internet, termasuk media digital dan media sosial (medsos).

Hal itu disampaikan Ketua MUI Bidang Informasi dan Komunikasi KH Masduki Baidlowi. Menurutnya, perluasan kewenangan KPI perlu dilakukan karena negara mesti mengatur penggunaan media sosial. Terlebih lagi, perubahan di masyarakat terjadi pesat dalam sistem komunikasi.

Selain itu, televisi dan radio pada masa kini sudah mulai ditinggalkan oleh kebanyakan masyarakat. Mereka umumnya beralih ke media sosial atau media multi-platform yang menggunakan jaringan internet.

“Saya kira, televisi sudah ditinggalkan masyarakat, sebagai industri sunset. Artinya, surut, seperti matahari tenggelam. Orang sudah bermedsos dan berinternet semua,” kata Kiai Masduki usai mengikuti rapat dengar pendapat umum (RDPU) di Ruang Komisi I DPR RI, kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (25/8/2025).

Komisi I DPR RI mengundang MUI dalam RDPU membahas mengenai Revisi Undang-Undang Penyiaran. Selain MUI, forum ini juga menghadirkan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Komite Nasional Pengendalian Tembakau (KNPT).

Kiai Masduki mengingatkan, media sosial, apabila tidak diatur, akan sangat berbahaya. Di antara pelbagai ekses media sosial ialah fenomena echo chamber dan confirmation bias yang berbasis algoritma.

“Hal ini bisa memperkuat radikalisme, polarisasi dan intoleransi bersentimen agama, dan ekstremisme digital. Ini harus jadi atensi pencegahan melalui UU Penyiaran baru,” ujarnya.

Dalam jagat medsos, penggunaan algoritma untuk menampilkan konten-konten kepada pengguna cenderung mengumpulkan informasi yang subjektif. Dalam arti, itu menurut pada kecenderungan dan keseringan si pengguna dalam bermedia sosial.

Ini berpeluang bahaya bila si pengguna medsos meyakini suatu informasi secara sepihak dan tanpa kroscek. Informasi yang bias ini pun terakumulasi antara satu kelompok yang terus bergema sehingga dipercaya sebagai “kebenaran.”

“Ada banyak contoh-contoh yang berbahayanya. Misalnya, ISIS mengader banyak orang dengan sistem ini yang akhirnya menimbulkan pemahaman radikal,” jelasnya.

Selain perluasan kewenangan KPI, MUI pun mengusulkan adanya semacam dewan etika atau konsultan syariah di lembaga penyiaran dan platform digital. Ini untuk memfilter konten-konten keagamaan.

“Fatwa-fatwa MUI, khususnya yang terkait Pedoman Bermuamalah di Media Sosial dan pornografi dapat menjadi landasan etik dalam perumusan pasal-pasal UU Penyiaran,” kata Kiai Masduki.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

008879900 1755066058 830 556 1

Kiai Ma’ruf Amin: Pesantren Jadi Pusat Gerakan Dakwah dan Pemberdayaan Masyarakat

JAKARTA — Pondok Pesantren bukan sekedar lembaga pendidikan yang fokus pada keagamaan namun juga lembaga …

prof asrorun niam sholeh 1756616995852 169

Munas MUI 2025 Akan Bahas Fatwa Perpajakan untuk Cari Keadilan Sesuai Syariat

Jakarta – Pajak yang dipungut oleh pemerintah dari rakyat diperuntukkan untuk pembangunan berbagai fasilitas dan …