Secara bahasa berpuasa (shiyam) berarti menahan (imsak). Perbuatan menahan diri terhadap melakukan aktifitas apapun disebut dengan puasa. Sementara, dalam pengertian syar’i berpuasa adalah menghindari hal yang membatalkan puasa dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
Namun, dalam dimensi spiritual yang lebih dalam sesungguhnya puasa adalah latihan menahan, mengendalikan dan mengelola nafsu dalam diri manusia. Kenapa nafsu itu perlu diperhatikan?
Karena itulah, ketika Rasulullah ditanya Para Sahabat bertanya : “Apakah peperangan yang maha besar itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab : “Perang melawan Nafsu.” (HR. Baihaqi).
Lalu, pertanyaannya nafsu seperti apa yang harus dilawan? Sebagaimana yang kita ketahui, terdapat hawa nafsu dalam diri manusia yang telah diberkahi Allah. Nafsu yang terdapat pada diri manusia merupakan salah satu ujian dari Allah.
Fitrahnya, nafsu memiliki watak yang jahat. Di sini Allah akan melihat siapa umatnya yang mampu menguasai atau mengendalikan hawa nafsu atau justru malah jiwanya yang terjerat dalam kungkunganya.
Dalam al-Quran, nafsu terbagi dalam 3 sifat. Yakni, Nafsu ammarah bissu’, Nafsu Lawwamah, Nafsu Mutmainnah.
Nafsu Ammarah
Nafsu ammarah menduduki tahap paling rendah dalam kehidupan manusia. Karena nafsu ammarah bissu’ condong untuk mendorong dan selalu menyuruh seseorang untuk berbuat keburukan.
Dengan menyadari ini, sesungguhnya seluruh manusia tanpa terkecuali berpotensi pada keburukan. Ada dimensi nafsu yang melekat dalam diri yang bisa mendorong seseorang sewaktu-waktu dalam keburukan, kejahatan dan kemaksiatan.
Hal ini sebagaimana dalam firman Allah dari cerita seorang Nabi yang juga tidak bisa lepas dari jeratan nafsu ini : “Dan aku (yusuf) tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya jiwa itu selalu menyuruh kepada keburukan, kecuali jiwa yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (QS Yusuf : 53).
Ayat di atas menjelaskan bahwa, manusia tidak akan mengganggap dirinya mampu terhindar dari kesalahan sekalipun seorang Nabi. Karena jiwa manusia akan selalu condong kepada kesenangan dan selalu menganggap indah keburukan dan kejahatan, kecuali jiwa yang dijaga oleh Allah dari kejelekan nafsu.
Nafsu amarah tidak mampu dikendalikan oleh hati dan juga ilmu yang ia miliki. Jadi seseorang yang sudah diselimuti dengan amarah, maka ia akan mudah terjerumus keburukan. Akan sulit untuk menasehati orang yang terselimuti amarah, karena ia akan selalu menganggap dirinya paling benar atas segalanya.
Nafsu Lawwamah
Nafsu ini adalah nafsu yang sudah mengenal baik dan buruk. Nafsu lawwamah ini memiliki jiwa menyesali perbuatan salah yang dilakukannya dan berinisiatif untuk kembali ke landasan yang benar. Nafsu lawwamah juga nafsu yang selalu berada dalam kondisi yang sering berubah-berubah.
لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ ، وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
Aku bersumpah demi hari kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (nafsunya sendiri), (QS. Al-Qiyamah [75]: 1-2).
Nafsu lawwamah adalah nafsu yang memiliki penyesalan atas perbuatan salah yang dilakukannya dan berinisiatif untuk kembali ke jalan yang benar. Nafsu ini lebih baik dari nafsu ammarah karena memiliki sisi penyesalan atas dosa-dosa yang dilakukan. Tetapi nafsu ini juga tidak menahan dari keburukan karena sifatnya yang selalu berubah-berubah.
Nafsu Mutmainnah
Nafsu ini mampu membuat seseorang berada dalam ketenangan karena ketaatan yang ia miliki. Orang yang memiliki nafsu mutmainnah dapat mengawal nafsu syahwatnya dengan baik dan senantiasa cenderung melakukan kebaikan.
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Robbmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 27-30).
Apabila manusia memiliki jiwa yang tenang dalam berzikir atau beribadah kepada Allah, maka Allah akan menyiapkan surge bagi hamba-hamba yang yang beriman kepadanya.
Sesungguhnya puasa Ramadhan yang disebut Rasulullah memerangi hawa nafsu adalah latihan untuk memerangi nafsu ammarah, mengendalikan nafsu lawwamah dan menjaga dan merawat nafsu mutmainnah. Keberhasilan puasa kita adalah ketika nafsu mutmainnah menjadi dominan besar dan menguasai diri kita.