Konflik Yai Mim vs Sahara

Pelajaran dari Konflik Yai Imim vs Sahara: Pentingnya Etika Bertetangga di Tengah Individualisme Kota

Perseteruan antara eks dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Kiai Imam Muslimin atau yang dikenal sebagai Yai Imim, dengan tetangganya, Sahara, di Perumahan Joyogrand, Kota Malang, sontak menarik perhatian publik. Konflik yang sebenarnya hanya masalah tetangga kini ramai diperbincangkan negara tetangga.

Konflik itu tampak sederhana. Ya, soal lahan yang kini menjadi jalan umum di depan rumah. Ternyata masalah sederhana ini berujung panjang dan menimbulkan ketegangan sosial. Menarik simpati dan antipati dari warga sekitar dan warganet.

Yai Imim mengklaim bahwa jalan di depan rumahnya merupakan bagian dari tanah miliknya yang telah diwakafkan sejak tahun 2007 untuk kepentingan umum. Karena status wakaf itu, beliau merasa keberatan jika akses tersebut dipakai untuk memarkir kendaraan pribadi oleh tetangganya.

Di sisi lain, pihak Sahara menolak klaim tersebut dengan menyatakan bahwa jalan itu merupakan fasilitas umum murni, sehingga siapa pun berhak menggunakannya.

Terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang keliru dalam kasus ini, peristiwa tersebut memberi pelajaran moral yang sangat penting bagi kita semua. Pelajaran lama yang sudah diajarkan berabad-adab tentang menjaga etika bertetangga dalam Islam.

Iman, Islam dan Tetangga

Islam menempatkan hubungan bertetangga sebagai bagian dari pondasi akhlak sosial. Bahkan, Rasulullah menegaskan bahwa keimanan seseorang tidak sempurna tanpa menghormati tetangganya.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Nabi bersabda: “Tidak beriman seseorang di antara kamu hingga ia mencintai tetangganya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain, Rasulullah juga bersabda: “Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman!”

Para sahabat bertanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang tetangganya tidak aman dari gangguan perbuatannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa menghormati, menjaga, dan tidak menyakiti tetangga bukan sekadar etika sosial, tapi indikator iman seseorang.

Etika Bertetangga: dari Lahan, Lisan dan Ihsan

Konflik seperti yang terjadi antara Yai Imim dan Sahara kerap berawal dari hal-hal kecil yang tidak dikelola dengan baik, seperti batas lahan, akses parkir, atau suara bising. Namun dalam perspektif Islam, setiap persoalan dengan tetangga seharusnya diselesaikan dengan adab dan musyawarah, bukan emosi atau ego.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. An-Nisa: 36).

Ayat ini menegaskan bahwa tetangga, baik yang dekat maupun jauh, adalah pihak yang wajib diperlakukan dengan ihsan (kebaikan). Dalam konteks modern, “tetangga dekat” bisa berarti orang yang tinggal di rumah sebelah, sedangkan “tetangga jauh” bisa bermakna warga satu kompleks atau satu lingkungan.

Membangun Lingkungan yang Penuh Rahmat

Konflik sosial sering kali berawal dari hilangnya empati dan komunikasi antarwarga. Di kompleks perumahan modern, banyak orang yang tidak saling mengenal, padahal tinggal bersebelahan bertahun-tahun. Sikap acuh seperti ini menciptakan jarak emosional dan memudahkan kesalahpahaman berkembang menjadi perseteruan.

Islam justru mendorong agar umat saling mengenal dan menebar salam, sebagaimana sabda Nabi : “Kamu tidak akan masuk surga sampai kamu beriman, dan kamu tidak akan beriman sampai kamu saling mencintai. Maukah aku tunjukkan sesuatu yang jika kamu kerjakan, kamu akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim)

Artinya, kebaikan sosial bermula dari hubungan baik dengan orang terdekat, yaitu tetangga.

Dalam banyak kasus, konflik bertetangga justru membesar karena gosip dan fitnah. Padahal Islam melarang keras perilaku adu domba dan penyebaran keburukan. Nabi bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang suka mengadu domba.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini mengingatkan kita bahwa menjaga lisan lebih penting daripada memenangkan argumen. Dalam era media sosial seperti sekarang, penyebaran potongan video atau narasi sepihak tentang konflik bisa memperkeruh keadaan dan mencoreng kehormatan kedua belah pihak.

Kasus Yai Imim dan Sahara menjadi cermin sosial bahwa konflik bertetangga bisa menimpa siapa saja, bahkan kalangan terdidik sekalipun. Namun lebih dari sekadar peristiwa hukum, kasus ini seharusnya menjadi bahan refleksi kolektif bahwa dalam Islam, bertetangga bukan sekadar berbagi ruang, tapi juga berbagi rasa dan tanggung jawab sosial.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Jibril terus-menerus berpesan kepadaku agar berbuat baik kepada tetangga, hingga aku mengira tetangga akan mendapat warisan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Ketum Muhammadiyah Haedar Nashir copy

Muhammadiyah Serukan Kebersamaan Nasional Hadapi Bencana

Purwokerto — Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir menegaskan pentingnya kebersamaan seluruh elemen …

ketum mui kh anwar iskandar dalam orientasi pengurus mui 251229054426 764

Ketum MUI Ajak Masyarakat Semarakkan Tahun Baru dengan Doa Bukan Hura-Huran Dan Bermaksiat

JAKARTA — Pergantian tahun baru dari 2025 menuju 2026 tinggal menghitung hari, ditengah berbagai musibah …