Jakarta – Pelaku aksi terorisme bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar dan penyerangan Mabes Polri dari kalangan milenial. Mereka generasi kelahiran tahun 1995.
Fakta itu membuktikan bahwa penyebaran paham radikal intoleran itu itu memang banyak dialamatkan ke generasi milenial. Kondisi membuat prihatin anggota DPR yang juga dari kalangan milenial Farah Puteri Nahlia.
Anggota DPR RI dari Fraksi FAN kelahiran 1996 ini mengaku mengaku prihatin atas pelibatan kaum milenial dalam jaringan terorisme. Farah menekankan pentingnya peran kiai dalam isu pencegahan terorisme.
“Peran lembaga-lembaga negara tentu penting, namun tidak berarti meninggalkan peran-peran aktor lain. Saya kira di negara kita dengan mayoritas penduduk muslim, peran kiai masih sangat vital. Pemahaman agama yang rahmatan lil ‘alamin dengan spirit hablum minallah dan hablum minannas perlu dijunjung tinggi dan harus memahami betul makna yang dimaksud,” ujar Farah dalam keterangan tertulis, Kamis (1/4/2021), dikutip dari detikcom.
Selain itu, lanjut Farah, sikap menghargai perbedaan dan mencintai kebersamaan (ukhuwah) perlu terus dilestarikan apalagi di kalangan muda. Peran pesantren-pesantren yang tersebar di seluruh pelosok negeri ini menjadi garda terdepan untuk mencegah paham radikal intoleran dan terorisme tidak semakin berkembang.
“Temuan yang menunjukkan bahwa pelaku teror muncul dari generasi milenial, seperti yang terjadi di Makassar dan Mabes Polri baru-baru ini, pelaku merupakan kelahiran 1995, yang mana menjadi bukti bahwa tindakan kekerasan dan indoktrinasi radikalisme mengancam seluruh usia generasi tanpa terkecuali,” kata Farah.
“Usia muda yang seharusnya tengah bersiap dan berjuang menggapai cita-citanya, termasuk fase-fase mencari jati diri justru kini terancam membunuh dirinya sendiri, membunuh masa depannya sendiri seperti dengan bom bunuh diri,” lanjutnya.
Farah mengatakan BNPT harus menguatkan lagi program kontra radikalisasi. Perlu adanya inovasi yang kreatif sebagai pendekatan ke masyarakat, terutama kalangan muda.
“Memang tugas BNPT tidak mudah, perlu keterlibatan berbagai stakeholder, terutama sekolah dan perguruan tinggi untuk menyelaraskan komitmen kebangsaan di lingkungan generasi muda. Poin pentingnya, di usia generasi muda yang terkadang masih labil, baik dari sisi emosi maupun pendirian (mudah terpengaruh), tentu program-program terkait deradikalisasi harus relevan dengan sasaran tersebut agar dapat diterima dengan optimal,” ujarnya.
Selain itu, Kemenkominfo juga berperan penting menangkal radikalisme. Dengan menghapus konten yang bermuatan intoleransi dan radikalisme.
“Pengaruh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi jangan sampai justru mengarah pada hal-hal yang negatif, destruktif, terutama mendorong perilaku yang kontraproduktif terhadap integrasi nasional, persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam konteks ini, upaya literasi digital dan optimalisasi patroli siber perlu dimaksimalkan,” tuturnya.
Terakhir, dia mendorong semua pihak keamanan untuk meningkatkan kewaspadaan. Termasuk para orang tua yang dapat mengontrol anak sejak.
“Spirit kewaspadaan itu dimulai dari diri, keluarga, sampai negara sebagai kerangka kewaspadaan nasional. Hal itu dapat ditunjang dengan aparat keamanan, baik Polri/TNI yang memperkuat pengamanannya di seluruh wilayah dan jajaran. Sekali lagi, persoalan terorisme seperti ini adalah musuh bersama, sinergi menjadi kekuatan utama untuk melawannya,” tuturnya.