Apakah pemberlakuan PSBB dengan mengurangi aktifitas sosial, termasuk agama yang ditetapkan pemerintah merugikan agama?
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto telah memberikan restu bagi Provinsi DKI Jakarta dan beberapa wilayah seperti Depok, Bogor dan bekasi untuk menjalankan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). PSBB merupakan pembatasan kegiatan tertentu dalam suatu wilayah untuk mencegah penyebaran virus corona. Pembatasan itu meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, kegiatan keagamaan, dan fasilitas umum hingga moda transportasi.
Mengutip Permenkes Nomor 9 Tahun 2020, PSBB merupakan pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi virus corona demi mencegah penyebaran virus ini lebih luas lagi. Untuk menjadi sebuah wilayah PSBB ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:
- Adanya peningkatan jumlah kasus, penyebaran atau jumlah kematian karena virus corona dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah.
- Terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain.
Aturan PSBB ditentukan oleh Menteri Kesehatan melalui permohonan dari Gubernur, Bupati atau Walikota. Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) juga bisa mengusulkan PSBB di sebuah wilayah.
Tentunya pemberlakuan PSBB di beberapa wilayah khususnya DKI Jakarta sangat berdampak pada berbagai sektor, baik sektor industri, perekonomian, dan lainnya. Tidak sedikit masyarakat yang mengeluh dan seakan menyalahkan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Tidak hanya aktifitas ekonomi yang terganggu, agama tentu merasa “dirugikan” dengan adanya kebijakan PSBB ini. Agama juga bagian terkait yang terkena dampak kebijakan pemberlakuan PSBB. Pembatasan juga berakibat pada aktifitas keagamaan di ruang publik yang menuntut keramaian.
Pertanyaannya, bagaimana Pemberlakuan PSBB dalam pandangan Agama khususnya Al-Qur’an dan Hadits? Lalu, apakah kebijakan ini layak disebut sebagai kebijakan yang berkesan kebijakan Taghut? Berikut Penulis berusaha untuk memaparkan!
PSBB dalam Sudut Pandang Agama
Dalam kondisi saat ini tentu banyak pertanyaan bagaimana penjelasan para ulama dan para imam tentang cobaan atau musibah dalam urusan agama yang jika musibah ini terus menerus ada dan dikhawatirkan akan merusak dunia dan akhiratnya? Apakah PSBB ini adalah cara sah atau merugikan umat?
Disebutkan dalam hadits shahih riwayat Imam Bukhari, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya :“Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia juga menurunkan penawarnya.” (HR Bukhari).
Dari hadits tersebut dijelaskan bahwa setiap penyakit tentu ada obatnya dari sisi Allah. Jadi, kita tidak perlu khawatir penyakit dalam urusan-urusan badan manusia saja Allah turunkan obatnya, apalagi penyakit hati yang berhubungan dengan benarnya keimanan seseorang yang mempengaruhi cinta, takut dan berharapnya kepada Allah. Tidak mungkin Allah meluputkan bagi manusia.
Ini merupakan wujud dari sempurnanya rahmat Allah kepada hamba-hambaNya. Orang yang beriman sangat beruntung karena mereka dekat dengan sumber rahmat Allah yang sempurna di dalam wahyu Allah yang diturunkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua orang yang sakit bisa cepat dalam proses penyembuhannya. Ada yang sembuh, namun ada pula yang tidak sembuh. Ada obatnya namun tidak semua orang tahu. Kemudian orang yang mungkin memahami namun tidak semua orang mempraktekkan dengan benar.
Ketika memahami setiap penyakit ada obatnya dan ketika sakit juga ada kesembuhan, optimism melalui usaha harus dilakukan. Berbagai kebijakan untuk menanggulanginya pun wajib dan mutlak dilakukan. Salah satunya dengan kebijakan pemberlakuan PSBB. Pemberakukan PSBB menjadi ikhtiar pemerintah untuk mencegah meluasnya penyebaran COVID19 agar masyarakat bisa melakukan aktivitas secara normal kembali.
PSBB dalam Sudut Pandang Umat Beragama
Lalu, pertanyaannya, bagaimana dengan sikap umat beragama? Umat beragama atau masyarakat secara umum harus taat terhadap peraturan pemerintah. Ketaatan masyarakat adalah bagian ikhtiar sebagai wujud implementasi dari do’a (permohonan) dan tawakal sebagai hamba terhadap Tuhannya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an :
Artinya : “Katakanlah (Muhammad), ‘Tidak akan menimpa kami kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang beriman harus bertawakal.” (QS. At Taubah: 51)
Dari ayat ini dijelaskan bahwa Sebagai seorang mukmin Hanya kepada Alah kaum mukmin bersandar dalam menarik maslahat dan menghindarkan madharat serta mempercayakan kepada-Nya dalam mewujudkan apa yang mereka inginkan.
Kemudian menanggapi pertanyaan apakah kebijakan ini layak disebut sebagai kebijakan yang berkesan kebijakan Taghut? Memang wajar dan perlu setiap warga negara bersifat kritis terhadap berbagai kebijakan yang dianggap kurang baik. Namun, nampaknya sangat tidaklah pantas apabila seorang warganegara menganggap bahwa kebijakan yang dibuat untuk kemashalahatan dan menghindari mudharat dianggap thagut.
Sebenarnya pemahaman thagut berangkat dari cara pandang umat beragama yang menganggap dirinya tidak perlu mematuhi ulil amri (pemerintah). Padahal umat beragama, khususnya Islam, memandang bahwa ketaatan kepada ulil amri untuk kemashlahatan itu sebuah keniscayaan.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّـهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّـهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّـهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ﴿٥٩﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan kepada para pemimpin di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan RasulNya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa[4]: 59)
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah