Melalui akun media sosialnya, salah seorang guru di salah satu Yayasan Pendidikan Islam di Rembang membuat postingan yang terang-terangan menghina Habib Luthfi. Diduga, Yayasan tersebut menjadi pusat penyebaran ideologi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang keberadaannya dilarang di Indonesia. Memang sudah dibubarkan, namun kelompok ini tetap bercokol dengan gerakan bawah tanahnya.
Jauh-jauh hari sebenarnya Ibnu Taimiyah, yang diklaim sebagai ulama panutan mereka, justru bertolak belakang dengan perangai kelompok radikal ini. Dalam kitab Majmu’ al Fatawa, beliau mengungkapkan bait-bait kata bijak soal bagaimana menyikapi perbedaan pendapat maupun perbedaan madzhab.
Tuturnya, umat Islam berselisih paham mana yang lebih utama, melirihkan syahadat (tarji’) ketika adzan atau tidak, bacaan Iqamah hanya satu kali atau dua kali seperti adzan, shalat shubuh di awal waktu atau menunggu terang, shalat subuh memakai qunut atau tiak, mengeraskan bacaan basmalah (ketika shalat) atau membacanya secara samar atau tidak perlu membacanya?. Dan perbedaan-perbedaan pendapat yang lain.
Menurut Ibnu Taimiyah, fenomena silang paham seperti itu telah terjadi di kalangan ulama salaf. Perbedaan pada wilayah ijtihadiyah adalah hal yang biasa dan tidak perlu diperuncing-tajamkan. Di tengah perbedaan itu, ulama salaf justru mengakui perbedaan yang ada diantara mereka. Karena dalam pandangan mereka, siapa yang ijtihadnya benar mendapat dua pahala dan yang salah mendapat satu pahala serta kesalahannya itu diampuni.
Siapa yang mengakui pendapat Imam Syafi’i lebih baik, ia tidak boleh mengingkari dan menyalahkan orang yang mengikuti Imam Malik. Demikian pula pengikut Imam Ahmad bin Hanbal tidak boleh menafikan mereka yang mengikuti Imam Syafi’i. Dan seterusnya begitu.
Demikianlah ungkapan Ibnu Taimiyah yang tertulis dalam Majmu’ al Fatawa. Sungguh ironi, kalau hari gini, ketika umat Islam mestinya berpikir untuk berbuat yang terbaik untuk bangsa dan negaranya, khususnya untuk kemajuan peradaban Islam, justru masih dikungkung dan diselimuti kabut kesemrawutan paradigma berpikir anti perbedaan.
Fenomena wajah buram Islam yang kerap ditampilkan oleh segelintir orang, yang mengaku beragama Islam, justru semakin mempertebal dugaan adanya konspirasi untuk menghancurkan umat Islam. Kalau itu yang terjadi mestinya umat Islam di negri ini harus selalu sigap menghadapi rongrongan kewibawaan Islam.
Jelas, mereka telah mencoba mendobrak pagar batas misi Nabi, menyempitkan, lalu melenyakan tanpa bekas. Walaupun, kalau mereka sadar, semua usahanya adalah usaha yang mustahil dan menguras tenaga dan pikiran secara percuma.