Surabaya – Di tengah pesatnya perkembangan dunia digital, generasi muda Indonesia kini menghadapi tantangan baru yang tak kalah serius yaitu paparan paham radikal yang menyusup lewat media sosial, forum daring, dan kanal digital lainnya. Terutama bagi Generasi Z (Gen Z) dan perempuan muda, ancaman ini semakin nyata.
Data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tahun 2023 menunjukkan bahwa Gen Z merupakan kelompok paling rentan terhadap radikalisasi, dengan indeks potensi mencapai 12,3 persen. Perempuan juga tercatat memiliki kerentanan lebih tinggi (11,9%) dibanding laki-laki (11,6%). Temuan ini menjadi sinyal kuat bahwa pendekatan pencegahan harus segera diarahkan kepada kelompok usia produktif dan rentan tersebut.
Merespons ancaman tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) mengambil langkah proaktif dengan menyasar pelajar tingkat SMA/SMK di Surabaya. Program edukasi kebangsaan ini dirancang untuk membangun ketahanan ideologis generasi muda dari usia sekolah.
Kegiatan dilaksanakan secara rutin di kantor Bakesbangpol Jatim, Jalan Putat Indah, Surabaya, dan tidak berhenti pada forum diskusi semata. Lebih jauh, Bakesbangpol Jatim akan menjadikan ruang ini sebagai “Rumah Kebangsaan”, pusat edukasi kebangsaan yang terbuka untuk pelajar, mahasiswa, hingga masyarakat umum.
Cangkrukan: Edukasi Kebangsaan dengan Sentuhan Lokal
Apa yang membuat pendekatan ini unik adalah konsep “cangkrukan”, yaitu gaya nongkrong santai khas Jawa Timur yang sudah lekat dengan budaya anak muda. Ruang diskusi didesain menyerupai suasana café, lengkap dengan dekor sederhana, musik akustik jalanan, dan suasana informal. Semua dirancang untuk menghapus sekat antara edukator dan peserta, menciptakan ruang yang nyaman untuk berdialog terbuka.
“Kami ingin menciptakan tempat di mana anak-anak muda bisa bicara lepas, bertukar pikiran, tanpa rasa canggung atau tekanan. Edukasi tidak harus selalu kaku,” ujar Eddy Supriyanto, Kepala Bakesbangpol Jatim.
Bagi Eddy, mencegah radikalisme di kalangan muda tidak cukup dengan ceramah formal. Dibutuhkan pendekatan yang berakar pada budaya lokal, inklusif, dan ramah anak muda, agar pesan-pesan kebangsaan lebih mudah diterima.
Tak berhenti di situ, program ini juga akan melibatkan mantan narapidana terorisme (napiter) yang telah kembali ke pangkuan NKRI. Mereka diundang untuk berbagi pengalaman secara langsung, menunjukkan betapa kelamnya jalan ekstremisme yang pernah mereka lalui, sekaligus menjadi contoh nyata bahwa perubahan dan rekonsiliasi itu mungkin.
Melibatkan para napiter juga menjadi strategi untuk membangun narasi kontra-radikalisme yang otentik dan menyentuh sisi emosional generasi muda. Mereka bukan sekadar “pembicara”, tetapi testimoni hidup dari bahaya ideologi kekerasan.
Agar gerakan ini lebih luas dan berkelanjutan, Bakesbangpol Jatim juga menggandeng berbagai organisasi masyarakat (ormas) untuk ikut ambil bagian dalam menyebarkan semangat kebangsaan dan menjaring jaringan sosial kontra-radikalisme. Sinergi ini penting untuk menjangkau lapisan masyarakat yang lebih luas dan heterogen.
Langkah ini juga selaras dengan visi besar Indonesia Emas 2045: membangun generasi penerus bangsa yang tak hanya unggul secara akademik dan teknologi, tapi juga berjiwa nasionalis, toleran, dan mampu menghadapi tantangan global dengan nilai-nilai kebangsaan yang kokoh.
“Kami ingin Jawa Timur menjadi pelopor. Bukan hanya menghasilkan SDM unggul, tapi juga generasi yang cinta Tanah Air dan kebal terhadap ideologi perpecahan,” tutup Eddy.
Penutup: Dari Diskusi Jadi Gerakan
Melalui pendekatan yang segar dan kontekstual, Jawa Timur menunjukkan bahwa pembinaan ideologis tidak harus selalu formal dan membosankan. Dengan sentuhan budaya lokal seperti cangkrukan, ruang-ruang kebangsaan bisa menjadi lebih hidup dan bermakna. Karena menjaga Indonesia bukan hanya tugas aparat atau negara, tetapi tanggung jawab bersama—dimulai dari percakapan kecil di tempat yang nyaman, tapi berdampak besar.