Penerbitan karikatur Nabi Muhammad oleh majalah satir LeMan di Turki baru-baru ini kembali membangkitkan kemarahan publik Muslim. Gambar dua sosok bersayap—bertuliskan “Muhammad” dan “Musa”—dalam konteks kehancuran Gaza dan Teheran, dipersepsikan sebagai bentuk penghinaan terhadap sosok suci agama. Meskipun redaksi berdalih bahwa maksudnya bukan penistaan, namun gelombang protes, penahanan kartunis, dan reaksi keras Presiden Erdoğan menunjukkan bahwa batas etika dalam kebebasan berekspresi sekali lagi dilampaui.
Apa yang terjadi di Turki adalah bagian dari pola yang berulang. Di Prancis, Charlie Hebdo kembali memicu polemik global pada 2020 setelah menerbitkan ulang karikatur Nabi Muhammad yang sebelumnya memicu tragedi berdarah pada 2015. Di Swedia, Rasmus Paludan membakar Al-Qur’an berkali-kali dengan alasan “demonstrasi politik”, menyinggung jutaan Muslim dengan cara paling vulgar.
Masalahnya jauh lebih dalam daripada sekadar kebebasan berekspresi. Setidaknya ada tiga lapis persoalan struktural dan kultural yang perlu kita pahami: standar ganda, warisan orientalisme, dan algoritma digital.
Menilik Akar Masalah
- Standar Ganda dalam Kebebasan Berekspresi
Banyak negara Barat dengan bangga menyuarakan kebebasan berbicara sebagai fondasi demokrasi. Namun, kebebasan ini tidak konsisten dalam penerapannya. Simbol-simbol tertentu seperti swastika Nazi, ucapan anti-Semit, atau penyangkalan Holocaust dilarang keras dengan alasan menyakiti martabat kelompok tertentu—dan itu hal yang baik.
Akan tetapi, ketika simbol keagamaan Islam dihina atau dijadikan bahan lelucon, reaksi mereka berubah. Pemerintah cenderung berlindung di balik dalih “kebebasan berekspresi”. Ini adalah standar ganda yang melukai rasa keadilan umat Islam. Dalam masyarakat multikultural, mestinya kebebasan tidak boleh menjadi alat untuk melukai harga diri komunitas agama manapun.
- Warisan Orientalisme yang Belum Tuntas
Masih kuatnya bias terhadap Islam dalam wacana Barat tidak lepas dari warisan orientalisme yang dipopulerkan oleh Edward Said. Islam dalam lensa orientalis sering digambarkan sebagai agama penuh kekerasan, antikemajuan, dan berbahaya. Dalam kerangka ini, menertawakan atau merendahkan simbol Islam dianggap sah—bahkan dianggap sebagai bentuk kritik progresif.
Pandangan ini memperparah ketidaksetaraan kultural antara Barat dan dunia Muslim. Ketika umat Islam memprotes penghinaan terhadap Nabi, reaksi mereka kerap dianggap sebagai bentuk ketidakmampuan menerima perbedaan, bukan sebagai ekspresi sah dari umat beragama yang mempertahankan kehormatan keimanannya.
- Algoritma Media Sosial: Memperkuat Provokasi
Di era digital, masalah menjadi lebih kompleks karena peran algoritma. Platform seperti YouTube, X (Twitter), dan TikTok tidak netral. Konten yang paling banyak diklik, disukai, atau dibagikan adalah yang paling provokatif, kontroversial, dan sering kali ekstrem. Narasi yang menyesatkan dan menghina lebih mudah naik ke permukaan dibanding konten yang mendidik atau membangun dialog.
Inilah kenapa pembakaran Al-Qur’an oleh Rasmus Paludan atau karikatur Nabi lebih cepat viral dibandingkan penjelasan ulama yang damai dan mendalam. Algoritma membentuk ekosistem yang memperkuat emosi, bukan nalar. Ini menjadi tantangan serius bagi upaya merawat keberagaman.
Apa yang Harus Dilakukan?
Tentu, umat Islam berhak marah. Tetapi penting untuk tidak terjebak pada respons yang justru menguntungkan para provokator. Respons marah yang destruktif hanyalah memperkuat stereotip lama yang ditanamkan oleh orientalisme dan disebarluaskan oleh algoritma digital.
Kemarahan harus dikelola menjadi tindakan produktif:
- Gunakan jalur hukum dan diplomasi internasional. Desakan dari negara-negara Muslim terhadap pemerintah yang membiarkan penistaan harus dilakukan secara terorganisir.
- Bangun narasi tandingan berbasis literasi keislaman. Umat Islam perlu mengisi ruang digital dengan konten positif, edukatif, dan rasional tentang ajaran Islam, sejarah Nabi, dan etika beragama.
- Kuatkan peran ulama dan cendekiawan. Fatwa, ceramah, dan kajian perlu diarahkan untuk merespons isu-isu global dengan bijak, bukan dengan emosi sesaat.
- Tumbuhkan budaya digital yang beradab. Hijrah digital dari kubangan provokasi menuju keadaban dunia maya harus menjadi misi bersama.
Dunia yang kompleks ini tidak bisa dihadapi hanya dengan nyala emosi. Umat Islam punya sejarah besar dalam merespons penghinaan dengan kejernihan akal dan kekuatan moral. Ketika kartun Nabi kembali menyakiti kita, jangan biarkan diri kita jatuh ke dalam strategi para provokator. Jangan membalas luka dengan luka, tapi rawat luka itu dengan keberanian intelektual dan kedewasaan spiritual.
Karena sejatinya, kemenangan tidak selalu milik mereka yang paling keras suaranya, tapi milik mereka yang paling tinggi martabatnya. Kemuliaan Islam tidak akan pernah luntur akibat provokasi mereka yang benci terhadap Islam.