firaun vs musa
firaun vs musa

Benarkah Fir`aun Panik Dengan Rencana Kepulangan Musa?

Beberapa hari ini saya menemukan tulisan dengan tajuk “Provokasi dan Kepanikan Fir`aun”, yang banyak tersebar di laman media online. Berdasarkan hasil penelusuran yang saya lakukan, artikel ringkas ini ditulis oleh seorang doktor dalam bidang sastra Arab, yang menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi Islam negeri di Sumatera. Artikel ini pertama kali dimuat di salah satu media online dan selanjutnya banyak dishare dan tersebar di beberapa media sosial, tanpa menampilkan penulis aslinya.

Secara ringkas, tulisan ini mengisahkan tentang kepanikan Fir`aun dan para pembesarnya pasca-mendengar rencana kepulangan nabi Musa as dari tempat pengasingannya, kota Madyan. Dalam menarasikan alur kisa nabi Musa as, penulis menyitir beberapa ayat Al-Qur`an, atau lebih tepatnya mencocok-cocokan ayat-ayat yang menceritakan kisah nabi Musa dengan diseret pada setting sosial tertentu, tanpa memperhatikan aspek kronologis turunnya ayat yang sebenarnya. Sehingga nuansa adanya “tafsir cucokologi” (pemaknaan ayat-ayat Alquran dengan dipaksakan pada kontkes tertentu, yang menyebabkan keluar dari kandungan makna yang sebenarnya) sangat kentara di dalamnya.

Melihat masifnya penyebaran tulisan tersebut, serta adanya kesalahan penyebutan fakta sejarah dan pemaknaan ayat yang menyalahi konteks aslinya, maka dalam tulisan ini, saya ingin memaparkan beberapa catatan ringkas sebagai bentuk pelurusan fakta dan bagian dari upaya saling memberikan nasehat terhadap sesama muslim (wa tawāshaw bi al-haq).

Pelurusan Fakta Sejarah dan Pemaknaan Ayat Al-Qur`an

Pertama, dalam mengawali tulisannya, penulis menarasikan akan kepanikan Fir`aun dan pembesarnya atas rencana kepulangan nabi Musa as. Sikap panik dan gusar itu ditunjukkan dengan menyampaikan provokasi hingga pelecehan kepada Musa, pengikutnya serta rakyatnya sendiri.  Jika kita mau membaca kisah-kisah nabi Musa as. yang banyak termaktub dalam kitab Al-Qur`an, hampir sulit ditemukan atau bahkan tidak ditemukan satu ayatpun yang mengisahkan bahwa Fir`aun dan para pembesarnya merasa panik dan gusar mendengar rencana kepulangan nabi Musa as. ke Mesir.

Bahkan yang sempat merasa gusar adalah nabi Musa sendiri, karna beliau merasa memiliki kesalahan di masa lalu. (QS. 26 : 14). Dikisahkan pula, bahwa pada awal perjumpaan Fir`aun dengan nabi Musa as yang ditemani saudaranya, Harun,  penolakan Fira`un terhadap risalah yang disampaikan nabi Musa, tidak langsung ditampakkan dengan muka garang dan nge-gas, namun terlebih dahulu dia mencoba mempengaruhi nabi Musa dengan mengingatkan jasa-jasa yang telah ia perbuat kepada Musa (QS. 26: 18-19). Ini semakin menguatkan bhwa Fir’aun pada awalnya tidak merasa was was dan gusar.

Kedua, kepanikan Fir`aun dan para pejabatnya terhadap rencana kedatangan Musa as. ditunjuk dengan mulai berkoar-koar di depan publik, dengan mengatakan bahwa Musa adalah manusia biasa dan pengikutnya hanyalah segelintir orang saja. Untuk melegitimasi opininya ini, penulis menyitir QS.as-Syu`ara`: 54. Perlu ditegaskan, bahwa konteks ayat ini sama sekali tidak mengisahkan provokasi Fir`aun dan pembesarnya saat mendengar rencana kedatangan nabi Musa.

Ayat ini justru mengisahkan akhir dari upaya nabi Musa dalam menyampaikan risalah kepada  Fir`aun yang tetap keukeh tidak mau mengikuti dan mengabulkan keinginan Musa untuk membebaskan kaumnya. Hingga akhirnya nabi Musa, berkat perintah Allah swt., memutuskan untuk membawa kaumnya (Bani Isra`il) kabur meninggalkan kerajaan Fir`aun. Setelah mengetahui hal tsb, Fir`aun segera mengirim bala tentataranya untuk mencari ke setiap penjuru kota dan mengatakan bhw Bani Israil adalah kelompok kecil (QS. 26: 53-54). Lihat pula Tafsir Mafatihul Ghaib (Juz 11/477).

Jadi, sekali lagi perlu ditegaskan, konteks ayat tersebut bukanlah sebagai Provokasi Fir’aun dan pembesarnya atas rencana kepulangan Musa, melainkan lebih sebagai bentuk motivasi Fir’aun terhadap bala tentaranya dalam upaya mencari keberadaan nabi Musa dan para pengikutnya, setelah lari meninggalkan istana.

Ketiga, penulis menyatakan bahwa Fir`aun berusaha menimbulkan antipati publik kepada Musa dan pengikutnya lewat provokasi, dengan mengatakan Musa dan pengikutnya adalah kaum yang fasik. Narasi ini diambil dari pemahaman terhadap QS. al-Zukhruf: 54.  Sekali lagi, sebagai seorang doktor dalam bidang sastra Arab, penulis melakukan kesalahan yang tidak sepatutnya  dalam memahami ayat ini.

Penggunaan dhomir (kata ganti) pada potongan ayat “انهم كانوا قوما فاسقين tidak merujuk pada nabi Musa dan kaumnya, melainkan kembali kepada para pengikut Fir`aun itu sendiri.  Sehingga pemahaman yang tepat bukanlah provokasi Fir`aun yang menyatakan Musa dan kaumnya orang Fasik,  melainkan Kaum Fir`aun itulah yang termasuk golongan orang-orang fasiq disebabkan mereka mau tunduk kepada Fir`aun yang tidak mau menerima risalah nabi Musa dan bahkan menganggap nabi Musa sebagai pembohong. (Lihat  Tafsir Khazin, Juz 5/381).

Saya melihat, konten tulisan tersebut lebih bersifat tendensius dengan mengabaikan etika dan kaedah penafsiran al-Qur`an dengan benar. Penulis cendrung memaksakan seting sosial yang mengitari ayat-ayat di atas dengan diseret-seret pada peristiwa yang baru-baru ini terjadi di Indonesia. Hal ini merupakan bentuk yang sangat dilarang dalam agama. Disebabkan Al-Qur`an lebih diposisikan sebagai alat legitimasi terhadap kondisi tertentu.

Penulis juga tidak utuh menggambarkan kisah nabi Musa dan Fir`aun. Perlu diingat, bahwa untuk menghadapi penguasa sekelas Fir`aun yang kejahatannya sudah melampauai batas (tagha), nabi Musa masih diperintah oleh Allah swt. untuk bersikap humanis dan bertutur kata secara lemah lembut, agar yang diseru sadar atau takut. (QS. 20: 44), apalagi dg pemimpin yang sesama Islam.

Peringatan al-Quthubi dalam Menafsirkan Al-Qur`an

Dalam upaya memahami kandungan al-Qur`an, tentulah memiliki metode dan kaedah tersendiri yang harus diikuti. Al-Qurthubi dalam pengantar tafsirnya (Juz 1/43-44) menegaskan bahwa dalam menafsirkan al-Qur`an hendaknya menghindari dua corak penafsiran al-Qur’an. Pola penafsiran yang pertama adalah si penafsir sudah memiliki opini awal, lantas dengan opini yang terkonstruk dalam benaknya tersebut kemudian ia menafsirkan al-Qur`an sesuai dengan opini yang telah terbentuk sebelumnya.

Pola ini menjadikan al-Qur`an sebagai alat justifikasi atas pikiran-pikirannya, bukan memposisikan al-Qur`an sebagai sumber inspirasi. Sederhananya pola ini adalah cocok-mencocokkan pikiran dengan al-Qur`an.  Beliau mencontohkan seperti seorang pendakwah yang menyeru untuk berjuang melawan hati yang keras membatu dengan menyitir ayat: إذهب إلى فرعون إنه طغى  (an-Nāzi`āt: 17) sambil menunjuk pada hatinya, dan ia mengesankan bahwa itulah yang dimaksud oleh ayat tersebut.

Pola kedua adalah hanya melihat makna ayat dari aspek bahasa Arab saja tanpa melihat riwayat tentang makna yang tidak jelas (gharāib) dan lafaz yang samar, ambigu, tersembunyi, dan lainnya. Pola penafsiran semacam ini di Indonesia identik dengan penafsiran yang hanya bermodalkan terjemahan al-Qur`an semata. Al-Qurthubi juga menceritakan bahwa para ulama salaf, semisal Sa`id bin Musayyab, `Āmir as-Syu`bi, dan lainnya sangat berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an, bahkan sekalipun mereka tahu terhadap tafsirannya, karena dikhawatirkan penafsiran yang mereka sampaikan tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah swt. 

Bagikan Artikel ini:

About Buhori, M.Pd

Dosen IAIN Pontianak dan Wakil Ketua PW.GP ANSOR Kalba

Check Also

demo anarkis

Demonstrasi Anarkis, Bagaimana Hukum Islam Memandangnya ?

Dalam sistem demokrasi, sebagai sistem pemerintahan yang didasarkan pada kedaulatan rakyat, warga negara atau rakyat …

bubur shafar

Tradisi Bubur Shafar; Potret Dialektika Budaya dan Islam di Nusantara

Shafar merupakan bulan ke dua dalam kalender Hijriyah. Secara literal, Shafar berasal dari Bahasa Arab …