sai dan etos kerja

Sa’i dan Etos Kerja: Belajar dari Keteguhan Siti Hajar

mereka yang menjalani hidup dengan kesungguhan, sejatinya sedang menapaki bukit Shafa dan Marwah mereka sendiri. Di tengah usaha itu, yakinlah Allah menurunkan “air zamzam”-nya—rezeki yang tidak disangka-sangka

Sa’i merupakan salah satu rukun penting yang wajib dilakukan oleh setiap individu yang menjalankan ibadah haji dan umrah. Prosesi ini dilakukan dengan berjalan cepat antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Setelah selesai, jamaah melakukan tahallul dengan mencukur rambut dari dua sisi kanan dan kiri.

Mencukur rambut bisa dilakukan saat setelah selesai sai dan bisa juga setelah sampai di penginapan. Ada ulama yang berpendapat bahwa tawaf dan sa’i adalah satu paket, tetapi ada juga yang mengatakan bahwa sa’i bukanlah bagian dari tawaf. Tapi bagaimanapun sa’i menjadi ibadah menandakan bahwa prosesi manasik haji atau umrah sudah selesai dan tuntas.

Sa’i menandai puncak dari perjuangan fisik dan spiritual seorang jamaah haji; tanda bahwa mereka telah melewati rangkaian ibadah dengan penuh kesungguhan.

Jamaah haji yang sudah melaksanakan sai sudah bisa berpakaian biasa dan membuka pakaian ihram. Bagi haji tamattu, sa’i setelah tawaf ifadah menandakan bahwa prosesi ibadah hajinya sudah selesai semuanya. Namun, bagi yang belum tawaf ifadah berarti sa’inya adalah sai umrah wajib. Jamaah haji yang sudah melaksanakan sai kembali ke tempat tinggal masing-masing dan dapat melanjutkan ibadah-ibadah lainnya yang dapat menambah nilai khusyu mereka selama berada di tanah suci.

Asal-usul Sa’i tidak bisa dilepaskan dari kisah agung seorang perempuan kuat: Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim. Ketika beliau ditinggalkan oleh suaminya bersama bayi mungilnya, Nabi Ismail, di lembah gersang, tidak ada tanaman, hanya bebatuan. Tidak ada aktivitas manusia yang ada hanya gunung tandus dan kering. Dalam al Qur’an dilukiskan “ Di sebuah lembah yang tidak terdapat tanaman apapun’. Kini lembah itu menjadi pusat peribadatan jamaah haji yaitu Masjidil haram.

Jika seandainya apa yang dilakukan oleh nabi Ibrahim terhadap keluarganya itu terjadi di era sekarang, mungkin sudah dianggap sebagai tindakan di luar nalar, bahkan mungkin dianggap sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan viral kemana-mana. Tapi apa yang sikap Siti Hajar?

Siti Hajar hanya diam dan patuh atas apa yang dilakukan suaminya. Beliau menegaskan bahwa jika ini adalah perintah tuhanMu maka lakukanlah dan biarkanlah kami di sini. Hajar tidak mengeluh. Ia tidak putus asa. Ia justru bangkit dan berikhtiar.

Berulang kali, ia berlari antara Shafa dan Marwah—dengan harapan dan doa, mencari setitik air untuk menyambung hidup anaknya. Tidak satu atau dua kali, tapi tujuh kali. Akhirnya, karena keteguhannya, Allah SWT menghadiahkan mata air zamzam yang terus mengalir hingga kini, menghidupi jutaan manusia dari seluruh dunia. Zamzam ditemukan akibat gesekan kaki sang bayi mungil, Ismail.

Apa yang dilakukan oleh Siti Hajar sejatinya menjadi pelajaran bahwa kerja keras memenuhi kebutuhan di mana kita tinggal tidak akan sia sia, bahkan hasilnya akan jauh lebih dahsyat. Merawat keluarga apalagi anak –anak yang kehilangan ayah akan memberikan hasil yang lebih baik sebagaimana hajar yang sampai saat ini  umat manusia dari berbagai penjuru dunia datang ke Mekkah mengikuti jejaknya.

Haji bukan saja memberi makna mendalam bagi  mereka yang sedang menunaikan ibadah haj tetapi juga bagi mereka belum mendapatkan kesempatan berhaji tahun ini. Oleh karenanya sejatinya prosesi haji termasuk sai menjadi pelajaran bagi kita bahwa tidak ada hasil tanpa upaya keras dan tidak hasil yang penuh keberkahan kecuali upaya yang tulus untuk keluarga .

Apa yang dilakukan Hajar bukan sekadar upaya seorang ibu, tapi juga sebuah simbol perjuangan manusia dalam mempertahankan kehidupan. Sa’i adalah bentuk penghormatan terhadap kerja keras seorang perempuan, yang dilakukan bukan karena pamrih, tetapi karena cinta, iman, dan tanggung jawab.

Di era digital saat ini, ketika mesin dan teknologi mengambil alih banyak peran manusia, kisah Siti Hajar menjadi cermin dan pengingat. Tidak sedikit kaum perempuan yang kehilangan peluang apalagi seorang single parent yang dengan susah payah menghidupi anak-anaknya. Banyak pula dari mereka harus meninggalkan kampung halaman merantau ke kota hingga keluarga negeri untuk mendapatkan asupan bagi anaknya.

Namun, Siti Hajar mengajarkan kita bahwa perjuangan tidak harus jauh. Ia tidak lari meninggalkan tanggung jawab. Ia berjuang di tempat ia ditinggalkan—dengan keyakinan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha yang tulus. Ini adalah pelajaran berharga bagi siapa pun yang sedang berjuang dalam keterbatasan.

Sa’i mengajarkan bahwa setiap keberhasilan membutuhkan usaha. Tidak ada keberkahan tanpa kerja keras yang disertai keikhlasan. Maka, mereka yang menjalani hidup dengan kesungguhan, sejatinya sedang menapaki bukit Shafa dan Marwah mereka sendiri. Di tengah usaha itu, yakinlah Allah menurunkan “air zamzam”-nya—rezeki yang tidak disangka-sangka.

 

Arab Saudi, 25 Mei 2025

Bagikan Artikel ini:

About Dr. Suaib Tahir, Lc, MA

Anggota Mustasyar Diniy Musim Haji Tahun 2025 Staf Ahli Bidang Pencegahan BNPT Republik Indonesia

Check Also

korupsi

Islam sangat Membenci Prilaku Korupsi

Berita nasional dan lokal kita dalam sehari tidak pernah lepas dari liputan korupsi. Rasanya korupsi …

dalil maulid nabi

Rasulullah SAW Teladan dalam Segala Aspek Kehidupan

Umat Islam di seluruh dunia termasuk di Indonesia baru saja merayakan peringatan hari mauled Nabi …