Bayangkan sebuah sore di Madinah. Rasulullah baru saja pulang ke rumah beliau. Tidak ada makanan berlimpah, hanya sepanci kuah daging sederhana. Namun apa yang beliau ajarkan kepada sahabatnya? “Abu Dharr, jika kuah daging sedang dimasak untuk keluargamu, tambahkanlah lebih banyak air kepada masakan itu agar tetanggamu juga mendapat bagiannya.” (HR. Muslim).
Lihatlah, betapa indah dan lembut cara Nabi kita mendidik. Seolah beliau ingin mengatakan: jangan sampai kelezatan makananmu menutup mata dari kewajiban berbagi. Jangan biarkan tetanggamu mencium aroma masakan, tetapi tidak pernah merasakan nikmatnya.
Rasulullah tidak main-main dalam urusan tetangga. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa beliau pernah bersabda tiga kali, dengan sumpah yang membuat para sahabat gemetar:
“Demi Allah, ia tidak beriman! Demi Allah, ia tidak beriman! Demi Allah, ia tidak beriman!”
Para sahabat bertanya, “Siapakah yang tidak beriman itu, ya Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Orang yang tetangganya tidak selamat dari gangguan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bayangkan, betapa berat kalimat ini. Nabi tidak hanya menyebut dosa besar, tapi sampai menyangkut iman. Artinya, keimanan seseorang tidak sempurna jika ia menyakiti tetangganya—apalagi membiarkannya kelaparan.
Nabi pernah berkata bahwa Malaikat Jibril begitu sering berpesan tentang pentingnya memperlakukan tetangga dengan baik, sampai beliau sempat mengira tetangga akan dimasukkan dalam ahli waris (HR. Bukhari dan Muslim). Bayangkan, begitu sering dan tegas Jibril mengingatkan, seakan Allah ingin menanamkan bahwa keberagamaan bukan hanya soal hubungan vertikal dengan-Nya, tetapi juga soal kasih sayang horizontal dengan sesama.
Tetangga adalah ujian nyata dari akhlak. Kita bisa salat panjang, berzikir dengan lantang, tetapi jika tetangga kita kelaparan sementara kita berpesta, maka keimanan kita dipertanyakan.
Kisah Sederhana, Makna yang Dalam
Suatu kali Nabi berkata kepada para wanita: “Jika seseorang hanya memiliki kaki kambing untuk dimasak, hendaklah ia membaginya dengan tetangganya.” (HR. Muslim).
Apa artinya? Bukan soal banyak atau sedikit yang kita punya. Tapi soal hati. Bahkan dari sisa potongan yang sederhana, kita bisa berbagi. Karena nilai berbagi bukan ditentukan oleh besar kecilnya, melainkan oleh ketulusan di baliknya.
Saudaraku, coba renungkan. Berapa banyak dari kita yang hidup di rumah nyaman, sementara tetangga di sebelah rumah menahan lapar? Berapa banyak yang menimbun makanan, sementara di gang sebelah ada ibu yang pusing karena tidak bisa membeli beras?
Media sosial kita penuh dengan unggahan makanan mewah, tetapi apakah kita pernah bertanya: apakah tetangga kita sudah makan hari ini?
Rasulullah mengingatkan: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam. Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka janganlah ia menyakiti tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Muslim).
Tiga pesan sederhana: jaga lisan, jaga tetangga, muliakan tamu. Itulah akhlak seorang mukmin.
Seandainya kita sungguh-sungguh meneladani Rasulullah, tidak ada satu pun tetangga kita yang akan merasa asing, lapar, atau tersakiti oleh kita. Seandainya umat Islam benar-benar menyalakan semangat ini, tidak ada lagi berita tentang warga miskin mati kelaparan, tidak ada lagi anak putus sekolah karena tidak ada yang peduli, tidak ada lagi kesenjangan yang mencolok di lingkungan kita sendiri.
Mari kita renungkan, saudaraku: agama bukan hanya doa yang naik ke langit, tapi juga kasih yang turun ke bumi. Dan kasih itu dimulai dari yang paling dekat—tetangga kita.
Seandainya kalian tahu cara Rasulullah memperlakukan tetangga, sungguh, kalian tidak akan pernah membiarkan mereka kelaparan.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah