arab pegon
arab pegon

Sejarah dan Keistimewaan Arab Pegon : Keunikan Aksara Arab Jawa yang Mulai Hilang Di Kalangan Pelajar

Arab pegon atau yang biasa dikenal dengan Arab Jawa sudah jarang ditemukan di majlis-majlis ilmu, pesantren dan tempat pembelajaran lainnya. Arab pegon merupakan warisan ulama nusantara yang perlu bahkan harus dilestarikan dan dijaga, agar tidak hilang dan punah oleh masa.

Memasuki era-modern ini, pembelajaran menggunakan Arab pegon mulai ditinggalkan bahkan dilupakan seiring berkembangnya zaman. Mungkin hanya di Pondok salafiyyah saja budaya menulis atau mencoret kitab kuning menggunakan Arab pegon. Maka dari penuturan ini, penulis ingin mengenalkan sejarah dan keistimewaan dari Arab pegon tersebut.

Sejarah Arab Pegon

Menurut Koentjaningrat, Arab pegon masuk ke Nusantara mulai tahun 1200 M atau 1300 M seiring dengan masuknya agama Islam menggantikan animisme, Hindu dan Budha. Seperti yang ditunjukan dalam perjalanan Syekh Sholeh Darat, hampir semua karyanya ditulis dalam bahasa Jawa dan menggunakan huruf Arab Pegon, hanya sebagian kecil yang ditulis dalam Bahasa Arab bahkan Sebagian orang berpendapat bahwa ialah yang paling berjasa menghidupkan dan menyebarluaskan tulisan pegon (tulisan Arab Bahasa Jawa).

Melalui karya-karya tersebut, ia telah berkontribusi memperkuat diskursus Islam berbasis pesantren dalam konteks masyarakat Jawa. Mengikuti teman seperguruanya, yaitu Kiai Ahmad Rifa’i Kalisalak Batang, Ia telah mentransformasi pembelajaran Islam Mekkah ke dalam pesantren, dan karenanya berhasil membangun sebuah cara yang lebih mudah untuk dicerna dengan bahasa lokal, bahasa Jawa.

Langkah inilah yang kemudian dilanjutkan Syekh Kholil Bangkalan dan para muridmuridnya seperti Kiai Bisri Mustofa dengan karyanya,Tafsir al Ibriz yang di beberapa pesantren di Jawa masih dipergunakan. Ia hidup pada masa ketika pesantren tengah mengalami proses konsolidasi sebagai pusat pembelajaran Islam dan basis pembentukan komunitas santri. Pesantren tidak hanya menghadirkan corak Islam yang semakin berbeda dari diskursus Islam berorientasi kolonial oleh penghulu, tetapi juga mengarah pada penciptaan ruang bagi proses vernakularisasi Islam. Hal ini menunjukkan bahwa Ia memberikan penegasan atas identitas bagi pesantren dan santrinya, yang berbeda dengan proyek kolonial yang saat itu diharuskan menggunakan tulisan Latin. Aksara Pegon dalam konteks ini memilki makna politik dan kultural bagi santri dan memperkuat proses pembentukan sebuah komunitas santri yang bersiap dalam berhadapan dengan kolonial.

Pada abad sebelumnya, yaitu abad ke-17 dan ke-18, Mekkah mulai menjadi pusat Islam berorientasi syari’at dan dilanjutkan pada abad ke-19. Lebih dari sekedar merekonsiliasikan tasawuf (mistisisme Islam) dan syari’at, ulama Mekkah pada abad 19 secara sunguh-sungguh mengusung penerapan syari’at dalam kehidupan keberagamaan umat Muslim. Karya fiqh Sayyid Bakri Syatta (1846-1893), I’anah al thalibin merupakan salah satu rujukan fiqh yang digunaka dalam halaqah, sedangkan bidang tasawuf yang dirujuk karya al-Ghazali Ihya ‘Ulum al-Din sebuah karya paling populer dibanding kitab lainnya yang mengintegrasikan tasawuf menjadi bagian dari syari’at.

Dengan tampilnya Ihya karya al-Ghazali secara dominan, sufisme di pesantren bergeser kepada sufisme yang berlandaskan syari’at. Gagasan-gagasan keislaman yang berorientasi Mekkah yang diperjuangkan ulama Jawi seperti Kiai Shaleh Darat dan Kiai Khalil Bangkalan telah menciptakan ketidakterpisahan sufisme dan syariat dalam pembelajaran pesantren. Sinergitas dari sufisme dan syariat tersebut adalah bidang etika (akhlak), yang kemudian menjadi salah satu tujuan utama dari pembelajaran pesantren.

Faktor Penyebab Arab Pegon Menjadi Istimewa

Pertama, simbol Masyarakat Islam

Aksara pegon merupakan legitimasi yang dibangun oleh Islam Jawa dalam memperkuat identitas mereka sebagai masyarakat Islam. Kata identitas berasal dari bahasa Inggris, identity yang memiliki pengertian harfiah, ciri, tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang, kelompok atau sesuatu sehingga membedakan dengan yang lain. Identitas juga merupakan keseluruhan atau totalitas yang menunjukkan ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang atau jati diri dari faktor-faktor biologis, psikologis, dan sosiologis yang mendasari tingkah laku individu.

Kedua, Simbul Budaya

Aksara pegon menempati posisi identitas budaya sebagai identifikasi komunikasi dari sistem perilaku simbolis verbal dan nonverbal yang memiliki arti dan yang dibagikan di antara anggota kelompok yang memiliki rasa saling memiliki dan saling membagi tradisi, warisan, bahasa, dan norma-norma yang sama. Oleh karena itu, Identitas budaya merupakan produk dari keanggotaan seseorang dalam kelompok melalui interaksi mereka dalam kelompok budaya mereka.

Identitas umumnya dimengerti sebagai suatu kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan pribadi dengan kelompok. Identitas diri seseorang merupakan kekhasan yang membedakan orang tersebut dari orang lain dan sekaligus merupakan integrasi tahap perkembangan yang telah dilalui sebelumnya. Identitas berasal dari interaksi individu dengan masyarakat. Identitas sosial biasanya lebih menghasilkan perasaan yang positif karena kita menggambarkan kelompok sendiri memiliki norma yang baik. Norma dalam sebuah kelompok disepakati secara bersama oleh anggota kelompok untuk memperkuat integrasi kelompok tersebut. Pengertian identitas harus berdasarkan pada pemahaman tindakan manusia dalam konteks sosialnya. Identitas sosial adalah persamaan dan perbedaan, soal personal dan sosial, soal apa yang kamu miliki secara bersamasama dengan beberapa orang dan apa yang membedakanmu dengan orang lain.

Ketiga, Simbul Identitas Sosial

Perspektif identitas sosial adalah kesadaran diri yang fokus utamanya secara khusus lebih diberikan pada hubungan antar kelompok, atau hubungan antar individu anggota kelompok kecil. Identitas dibangun berdasarkan asumsi yang ada pada kelompok. Biasanya kelompok sosial membangun identitasnya secara positif.

Muncullah ide dari sebuah kelompok untuk membandingkan aspek positif dengan kelompok lain. Identitas sosial merupakan kesadaran diri secara khusus diberikan kepada hubungan antar kelompok dan hubungan antarindividu dalam kelompok. Individu sebagai anggota sebuah kelompok dalam proses pembentukan identitas sosial kelompok tersebut mengalami depersonalisasi.

Depersonalisasi adalah proses dimana individu menginternalisasikan bahwa orang lain adalah bagian dari dirinya atau memandang dirinya sendiri sebagai contoh dari kategori sosial yang dapat digantikan dan bukannya individu yang unik. Identitas sebuah kelompok dibentuk oleh proses-proses sosial. Proses-proses sosial yang membentuk dan mempertahankan identitas ditentukan oleh struktur sosial.

Bagikan Artikel ini:

About Ahmad Syah Alfarabi

Check Also

al quran hadits

Takhrij dan Analisis Matan Hadis Terbelenggunya Setan pada Bulan Ramadan

Hadis yang merupakan sumber kedua bagi kehidupan beragama kaum Muslimin, menjadi hal yang banyak disoroti …

adab puasa

Bagaimana Hukum Belum Mengqadha Puasa Tahun lalu? Berikut Penjelasan Ulama Empat Mazhab!

Besok atau lusa sudah memasuki bulan suci Ramadhan, dianjurkan bagi orang yang memiliki hutang puasa …