sekolah perbedaan

Sekolah Harusnya Menguatkan li ta’ārafū : Mendesain Sekolah sebagai Rumah Perjumpaan

Ada ironi kecil yang muncul dalam kehidupan sosial kita. Anak-anak tumbuh dalam ruang keluarga yang umumnya homogen—dari segi agama, cara pandang, tradisi, bahasa, hingga kebiasaan-kebiasaan kecil di meja makan. Lingkungan keluarga memang menjadi tempat pertama anak belajar identitas, tetapi juga tempat pertama di mana batas-batas identitas itu tampak paling kuat.

Karena itulah, sekolah seharusnya mengambil peran penting sebagai ruang perjumpaan—ruang di mana anak belajar bahwa dunia tidak satu warna, bahwa manusia tidak diciptakan dalam satu bentuk, dan bahwa keberagaman bukan ancaman, melainkan karunia. Sayangnya, dalam banyak kasus, ruang perjumpaan itu tidak bekerja sebagaimana mestinya.

Sekolah sering kali lebih sibuk merayakan keseragaman ketimbang memperkaya pengalaman anak dengan keberagaman. Anak-anak bertemu teman sebangku yang sama latar belakangnya, mempunyai teman organisasi yang sama latar belakangnya, mempunya lingkar permaianan yang juga sama identitasnya.

Padahal, ketika sekolah menihilkan perjumpaan dalam perbedaan, ia kehilangan salah satu fungsi utamanya: mendidik karakter sosial. Anak akan gagap menghadapi perbedaan yang akan mereka jumpai ketika dewasa.

Dalam perspektif Islam, kegagalan menciptakan ruang perjumpaan bertentangan dengan pesan besar Al-Qur’an tentang keragaman manusia. Surah Al-Hujurat ayat 13 menjadi deklarasi paling tegas: manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku “li ta’ārafū”—agar saling mengenal.

Kata ta’aruf bukan sekadar mengenal nama atau melihat perbedaan dari kejauhan, tetapi sebuah proses perjumpaan, dialog, interaksi, dan penghargaan. Dengan kata lain, Islam menekankan bahwa keberagaman bukan sekadar realitas sosial, melainkan instrumen pendidikan.

Nabi Muhammad SAW juga memberikan teladan tentang bagaimana membangun perjumpaan yang sehat. Komunitas Madinah dibentuk dari kelompok yang berbeda: Muhajirin, Anshar, Yahudi, pagan Arab, hingga para pendatang. Beliau tidak membangun masyarakat yang seragam, tetapi masyarakat yang saling belajar untuk hidup berdampingan.

Mitsaq Madinah, piagam yang mengatur hubungan antarkelompok, adalah bukti bahwa Islam mengakui perbedaan sebagai fondasi sosial, bukan sebagai beban yang harus dihapus.

Dalam konteks inilah sekolah seharusnya menjadi miniatur “Madinah kecil”. Sekolah harus menjadi lembaga yang mengimplementasikan “li ta’ārafū”.  Sekolah tidak boleh membuat aturan yang segregatif, budaya diskriminasi dan ruang sosial yang sulit terjadinya perjumpaan.

Ruang kelas, misalnya, perlu menghadirkan pengalaman kebangsaan yang utuh: mempertemukan anak-anak dengan identitas yang beragam, mengajarkan dialog, memberi ruang untuk berbeda pendapat, dan melatih mereka memandang manusia dari sisi kemanusiaannya.

Organisasi siswa, misalnya, harus menyediakan kegiatan yang mendorong perjumpaan. Sebut saja kegiatan cross-faith visit berkunjung ke lembaga berbeda agama yang akan memberikan insight siswa tentang perbedaan.

Sekolah yang ideal bukan tempat di mana semua murid harus sama, melainkan tempat di mana semua murid dipersilakan berbedadan diajarkan berdampingan. Ketika sekolah gagal memainkan peran ini, yang lahir adalah generasi yang gagap perbedaan. Mereka mungkin unggul dalam ujian kognitif, tetapi rapuh menghadapi kenyataan bahwa dunia tidak seseragam dinding rumah mereka.

Sumber banyak ketegangan sosial hari ini—termasuk intoleransi, diskriminasi, dan mudahnya anak terpapar ide ekstrem—berakar dari minimnya pengalaman perjumpaan sejak sekolah. Maka pendidikan keislaman harus mengembalikan orientasi sosialnya. PAI, misalnya, bukan hanya mengajarkan ibadah formal, tetapi juga etika hidup bersama, nilai tasamuh (toleransi), ta’awun (saling menolong), dan ‘adl (keadilan). Guru harus menciptakan situasi kelas yang tidak hanya menghafal ayat, tetapi menghidupkannya.

Jika anak belajar bahwa perbedaan itu sunnatullah—hukum alam yang ditetapkan Allah—maka ia akan tumbuh sebagai warga yang matang, tidak mudah curiga, dan mampu merayakan keragaman sebagai rahmat. Sekolah, dalam kacamata Islam, adalah tempat di mana ayat-ayat sosial itu dibaca bukan lewat teks, tetapi lewat pengalaman.

Menghidupkan kembali sekolah sebagai ruang perjumpaan adalah tugas moral kita. Di tengah menguatnya polarisasi dan mengerasnya identitas, anak-anak perlu ruang untuk belajar menjadi manusia yang utuh—yang memahami bahwa perbedaan bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dipahami. Dan saat perjumpaan tumbuh, kedewasaan sosial juga ikut tumbuh. Ini bukan hanya visi pendidikan modern, tetapi juga bagian dari amanah keislaman yang diwariskan sejak ayat pertama tentang kemanusiaan diturunkan.

Ruang perjumpaan adalah ruang peradaban. Dan sekolah, bila dikelola dengan benar, adalah tempat terbaik untuk memulainya.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Menag Nasaruddin Umar copy

Tak Hanya Penerima Ilmu dari Timur Tengah, Indonesia Tapi Kini Rujukan Studi Keislaman Global

Surabaya — Indonesia yang memiliki lebih dari 240 juta pemeluk Islam dinilai semakin berperan dalam …

091882600 1679803445 830 556

Universitas Al-Azhar Mesir Kutuk Serangan Terhadap Mahasiswa Saat Ibadah di Kampus

JAKARTA – Sebuah video viral di media sosial yang memperlihatkan mahasiswa yang sedang melaksanakan shalat …