Shalat adalah oleh-oleh Nabi dari peristiwa mi’raj. Shalat sekaligus menjadi mi’raj umat Islam sebagaimana Nabi menghadap langsung Allah.
Masjidil Aqsha menjadi titik berangkat naiknya Nabi ke Sidratul Muntaha. Peristiwa yang kemudian dikenal dengan Mi’raj ini merupakan naiknya seorang hamba terpilih untuk menghadap Allah secara langsung.
Mi’rajnya Nabi tersebut membawa berkah tersendiri bagi umat Islam. Karena sejatinya umat Islam sebagai umat pilihan juga berkesempatan untuk melakukan hal yang sama meski berbeda teknisnya. Shalat sebagai oleh-oleh Nabi setelah Isra’ dan Mi’raj merupakan media umat Islam untuk melakukan Mi’raj. Menghadap Allah secara langsung.
Shalat adalah mi’raj umat Islam. Saat menjalankan shalat, seseorang sesungguhnya naik menghadap kepada Allah sebab seluruh perhatian jiwa raga seorang hamba ketika itu “naik” berkomunikasi dengan Allah. Istilah ini dikenal sebagai khusyu’ yang artinya penyatuan jiwa dan raga untuk menghadap pencipta. Karena shalat yang sesungguhnya merupakan ibadah yang harus dilakukan secara serius untuk menghadap Allah secara totalitas.
Sebab itulah, shalat kemudian menjadi ibadah paling utama dalam agama Islam. Shalat merupakan Identitas keimanan setelah syahadat, pembeda antara iman dan kufur dan sebagai pilar agama. Shalat menjadi amal yang pertama yang akan dihisab sekaligus sebagai barometer amal-amal lainnya.
Supaya shalat berfungsi sebagai media Mi’raj, hal pertama yang harus dilakukan tak lain perhatian yang sungguh-sungguh terhadap ibadah termulia tersebut. Diawali dengan introspeksi terhadap shalat dengan upaya pemenuhan syarat dan rukun serta kualitas pelaksanaannya.
Kualitas shalat haruslah dimulai dengan memperhatikan kesempurnaan seluruh komponen pendukung. Mulai dari pakaian, wudu’, takbiratul ihram, niat dan khusyu’ di dalamnya. Shalat tidak sekedar bertujuan hanya untuk memenuhi kewajiban saja. Dari shalat yang berkualitaslah akan tercapai tujuan shalat. Mencegah perbuatan buruk dan mungkar.
Selanjutnya, perbaikan diarahkan pada kualitas shalat sebagai sarana komunikasi dengan sang Khaliq, yakni dengan berbuat ihsan. Ihsan adalah upaya untuk menghadirkan Allah dalam beribadah, sehingga menimbulkan perasaan khusyu’ (ketenangan) dan khudhu’ (ketundukan). Bila hal ini mampu terjewantah dalam dalam shalat, maka dengan sendirinya seseorang telah melakukan Mi’raj.
Sebab itulah, untuk mencapai shalat sebagai sarana Mi’raj, layak kita renungkan firman Allah:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
Artinya : “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu”. (QS. Al-Baqarah: 45)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al-Baqarah: 153)
Demikian shalat sesungguhnya menjadi satu-satunya cara untuk menghadap Allah. Menjadi Mi’rajnya umat Islam untuk memenuhi panggilan penciptanya. Maka jika direnungkan lebih dalam, bila shalat diabaikan berarti abai akan panggilan Allah untuk menghadap. Mengerjakan shalat dengan main-main juga berarti menghadap Allah secara tidak sopan.
Semoga kita mampu menjadikan shalat sebagai sarana untuk bermi’raj kepada Allah. Shalat dengan praktek yang Ihsan. Yakni, menyembah Allah seakan kita melihat Allah, jika tidak mampu maka yakinlah Allah melihat kita. Buah shalat yang Ihsan menjadikan pribadi muslim sebagai seorang yang baik. Baik kepada Allah dan baik kepada semua ciptaan-Nya. Tidak mudah mencaci, menyalahkan, dan sebagainya.