Kedatangan habib Umar bin Hafidz ke Indonesia sempat menuai kontra versi. Hal ini ketika habib shalat membaca al Qur’an tanpa menggunakan tajwid sebagaimana terkenal di masyarakat umum. Persoalannya bukan hanya pada berdosa atau tidak, tetapi apakah yang demikian tersebut dapat membatalkan shalat.
Di antara kewajiban shalat yang harus dikerjakan adalah membaca surat al Fatihah. Barangsiapa yang tidak membaca surat al Fatihah, dalam madzhab Syafi’i hukum shalatnya tidak sah. Sebagaimana hadits Nabi saw:
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Artinya: “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca fatihahnya al Qur’an” (HR. Bukhari dan lainnya)
Sampai di sini, yang wajib dikerjakan hanya membaca surat al Fatihah. Namun ulama’ juga menekankan tentang kebenaran membaca al Fatihah. Sebab itu, dalam ilmu Fiqh terdapat istilah qari’ dan umiy. Qari’ adalah orang yang bagus dalam membaca Fatihah, sementara umiy adalah orang yang rusak dalam bacaan Fatihahnya. Bagi orang yang memang tidak bisa membaca Fatihah dengan baik, tidak sampai membatalkan shalatnya, karena udzur. Akan tetapi orang yang seperti ini tidak diperkenankan menjadi imam jika masih ada orang yang baik dalam membaca Fatihah (qari’). Di dalam kitab Fathul Qarib dijelaskan:
وَلَا قَارِئٍ وَهُوَ مَنْ يُحْسِنُ الْفَاتِحَةَ أَيْ لَا يَصِحُّ اِقْتِدَاؤُهُ بِأُمِيٍّ وَهُوَ مَنْ يُخِلُّ بِحَرْفٍ أَوْ تَشْدِيْدَةٍ مِنَ الْفَاتِحَةِ
Artinya: “Tidak boleh juga bermakmumnya qari’, yaitu orang yang bagus bacaan Fatihahnya, kepada umiy, yaitu orang yang merusak huruf, atau tasydid dari Fatihah”
Hal ini berbeda dengan orang yang fashih dalam membaca Fatihah tetapi dibuat salah bacaannya secara sengaja. Seperti merubah harkat fathah pada lafadz “أَنْعَمْتَ” kepada harkat dhommah. Atau merubah huruf ha’ pada lafadz “اَلْحَمْدُ” kepada huruf kaf, maka yang demikian dapat menyebabkan shalat tidak sah.
Di dalam kitab Safinatun Naja disebutkan:
شُرُوْطُ الْفَاتِحَةِ عَشَرَةٌ اَلتَّرْتِيْبُ … وَعَدَمُ اللَّحْنِ اَلْمُخِلِّ بِالْمَعْنَى
Artinya: “Syarat membaca Fatihah ada sepuluh, yaitu tertib… dan tidak terdapat kesalahan yang sampai merusak maknanya”
Dari sini, maka dapat diketahui bahwa menjaga tajwid yang dapat merubah kepada makna ketika shalat hukumnya wajib. Begitu sebaliknya, jika tidak bertajwid tapi tidak merubah makna dari lafadz tersebut maka hukumnya tidak membatalkan shalat. Seperti memanjangkan kasroh pada ha’ dari lafadz “اَلْحَمْدُ لله”.