menyambut ramadan
menyambut ramadan

Tradisi Menyambut Ramadan : Dari Doa Bersama hingga Pawai, Mana yang Lebih Bid’ah?

Menarik menyimak bagaimana beragama ditampilkan dalam bentuk ekspresi kultural yang sangat beragam. Salah satunya seperti tradisi menyambut Bulan Ramadan yang jelas pasti dibilang bid’ah oleh sebagian kelompok yang merasa “paling murni” dalam beragama. Dari penyambutan model tradisional hingga cara-cara baru muslim perkotaan seperti pawai keliling kota.

Banyak ragam kegiatan yang ditampilkan dengan didasari oleh niat dan kepentingan yang multi tafsir. Tentu saja, semua berangkat dari rasa kegembiraan dan persiapan untuk menyambut bulan Agung penuh rahmat dan berkah yang dijanjikan sebagai bulan penyucian diri. Kegembiraan dan persiapan ini memunculkan perwujudan ekspresi yang beraneka ragam.

Muslim pedesaan dengan ikatan kohesi sosial yang kuat dan tradisi leluhur yang masih kental mengekspresikan dengan ragam kegiatan yang menunjukkan corak yang lebih reflektif. Misalnya, nyadran, kenduri, nyorog, malaman, batahlil dan lain dilakukan dengan pemaknaan kegembiraan dan kesiapan menyambut bulan puasa dengan makna-makna yang relijius. Makna tersebut semisal, silaturrahmi, sedekah, berdoa bersama dan saling mendoakan. Ada pemaknaan reflektif masyarakat pedesaan untuk menggapai bulan ini dengan penyucian diri dari salah antar manusia untuk memanjat ampunan kepada Ilahi di bulan suci.

Muslim perkotaan dengan tradisi barunya menampilkan hal berbeda dengan corak yang lebih atraktif bernuansa syiar, dalam kadar tertentu kadang bertujuan show of force. Tidak ada kegiatan yang merefleksikan pemaknaan relijius, tetapi lebih menampakkan kegembiraan, syiar dan unjuk kekuataan dengan mengingatkan masyarakat akan datangnya bulan Puasa. Dalam prakteknya, kadang ormas tertentu harus membawa bendera kebanggaan untuk menampilkan kekuatan identitasnya. Bagi ormas yang birahi politiknya lebih tinggi dari pada tujuan relijiusnya momen pawai ini merupakan tradisi yang kerap mereka kembangkan menjelang Ramadan.

Pada dasarnya tentu tidak ada dalil untuk menjustifikasi ragam tradisi tersebut. Menyatakan kegembiraan dan amalan yang baik untuk menyambut Ramadan tidak membutuhkan dalil yang spesifik. Pun sama sekali tidak ada vonis bid’ah yang tepat untuk menghukumi ragam ekspresi kultural di atas. Atau harus mengukur mana kadar bid’ah yang lebih besar antara tradisi di pedesaan dengan tradisi baru di perkotaan dalam menyambut Ramadan.

Dengan niat yang baik sesungguhnya praktek tradisi yang baik untuk menyambut bulan yang baik itu dilakukan dengan memberikan kebaikan kepada diri sendiri dan yang lain. Bukankah sabda Nabi sebaik-baiknya manusia adalah orang yang paling memberikan manfaat kebaikan kepada yang lain.

Kemudian, Nabi dalam hadist popular arbain Imam Nawawi mengatakan : “Di antara tanda kebaikan keislaman seseorang; jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya”. Jika beragam tradisi tersebut tidak memberikan manfaat, tentu sebaiknya sebagai muslim yang baik akan ditinggalkan. Namun, jika kebaikan itu memberikan manfaat terhadap diri dan orang lain dalam menyambut Bulan Ramadan, kenapa harus ditinggalkan?

Setiap masyarakat, komunitas dan individu mempunyai ekspresi yang beragam dalam menyambut Bulan Suci ini. Selama tidak memberikan mudharat kepada orang lain semisal harus melakukan pawai yang menggangu ketertiban atau menggelar doa bersama yang mengganggu kebersamaan rasanya tradisi itu terlalu berharga untuk divonis bid’ah.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Eks Napiter di Batanghari lepas baiat dan ikrar setia NKRI

Lepas Baiat dan Ikrar Setia NKRI, Eks Napiter: Semoga Kami Istiqamah Jalankan Ajaran Islam yang Benar

Batanghari – Program deradikalisasi yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Densus …

Haedar Nashir

Ormas Keagamaan Harus Naik Kelas, Tidak Boleh Jadi Benalu Tapi Harus Mandiri

Yogyakarta – Organisasi sosial kemasyarakatan berbasis agama harus memiliki kesadaran untuk berubah naik kelas, tidak boleh …