kpu adakan simulasi pemilu
kpu adakan simulasi pemilu

Wajibkah Umat Islam Mengikuti Pemilu, Bolehkah Golput?

Dalam Islam, memilih pemimpin adalah sebuah kewajiban untuk menjadi pengatur dalam mewujudkan kemashlahatan bersama (mashlahah ammah). Karena Pemilu berposisi sebagai cara atau metode dalam nashbul imam atau memilih pemimpin atau imamah dan imarah, maka posisi mengikuti Pemilu adalah wajib dalam Islam.

Kewajiban mengikuti Pemilu didasarkan pada kaidah fikih yang berbunyi: “ma la yatimmu al wajib Illa bihi fahuwa wajibun”, sesuatu yang menjadi keharusan untuk terealisasinya kewajiban, sesuatu itu hukumnya juga wajib. Karena Pemilu menjadi syarat terpenuhinya memilih pemimpin, maka hukum Pemilu menjadi wajib sebagaimana wajibnya memilih pemimpin.

Lalu, bagaimana dengan orang yang memilih sikap golpu atau golong putih alias tanpa sadar memilih untuk tidak memilih. Dengan melihat hukum wajibnya mengikuti Pemilu bagi umat Islam, hukum golput dalam Islam adalah haram. Tentu, hukum ini jika tidak ada hal yang dapat menyebabkan seseorang mudharat, lupa atau tidak tahu dengan aktivitas pemilu. Namun, hampir mayoritas umat Islam saat ini telah mengetahui dengan jelas kapan dan bagaimana cara Pemilu. Karena itulah, tidak ada alasan untuk tidak mengikuti proses Pemilu.

Bagaimana jika ada anggapan bahwa calon yang ada tidak mencerminkan kriteria dalam Islam. Tentu, Islam mempunyai kriteria tentang seorang pemimpin. Paling tidak, pemimpin itu harus orang yang beriman, jujur, terpercaya, akuntable dan mempunyai kualitas.

Syarat di atas adalah ukuran obyektif, tetapi masing-masing individu akan mempunyai cara pandang yang berbeda dalam memperkirakan kriteria tersebut. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Dalam berbeda, musyawarah itulah menjadi jalan utama.

Bagaimana jika kita tidak menemukan kriteria seperti itu dalam diri semua calon? Pertama harus kita yakini bahwa ketiadaan seorang pemimpin adalah mudharat yang paling besar. Begitu pula ada keyakinan bahwa jika tidak ada pemimpin tidak aka nada pemerintah dalam negara yang berjalan yang itu jelas akan menimbulkan mudharat. Itulah dasar keyakinan yang pasti dimiliki semua orang.

Sementara itu, anggapan bahwa seorang tidak memenuhi kriteria adalah pra sangka, bukan suatu keyakinan. Karena itulah, dalam kaidah fikih sangkaan itu tidak bisa menghilangkan keyakinan. Kaidahnya adalah alyaqinu la yuzalu bis syak. Keyakinan tidak bisa ditukar dan dihilangkan dengan pra sangka.

Karena itulah, memilih golput dengan alasan bahwa tidak ada calon yang memenuhi syarat adalah sebuah pra sangka. Sementara ketiadaan Pemilu dan tidak lancarnya proses pemilihan adalah sebuah keyakinan yang akan menimbulkan mudharat. Pra sangka masing-masing orang terhadap kriteria tidak bisa menghilangkan keyakinan pokok tentang pentingnya memilih pemimpin.

Umat Islam tidak hanya harus menjadi baik dalam beragama dengan menaati Allah dan Rasul, tetapi umat Islam juga berkewajiban untuk menjadi warga negara yang baik dalam menaati ulil amri ( QS AN-Nisa’ : 59). Menaati aturan dan perundang-undangan adalah bagian menjadi warga negara yang baik dalam menaati ulil amri. Termasuk mengikuti Pemilu adalah bagian dari ekspresi menaati ulil amri dalam proses pemilihan pemimpin.

Karena itulah, berangkat ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada tanggal 14 Februari 2024 hakikatnya bukan hanya untuk memenangkan calon tertentu, tetapi niatkan untuk beribadah sebagai bentuk kewajiban memilih seorang pemimpin. Menentukan pilihan dalam Pemilu adalah bagian umat Islam mengeskpresikan diri menjadi orang yang beriman yang taat kepada Allah, Rasul dan aturan ulil amri.

Bagikan Artikel ini:

About Farhah Salihah

Check Also

ramadan

Ramadan Berlalu, Perilaku Koq Masih Seperti Dulu

Hanya sebentar setelah berakhirnya bulan Ramadan, kita sering kali merasakan betapa cepatnya kita melupakan pelajaran …

madinah

Siapa yang Mengangkat Nabi Muhammad Menjadi Pemimpin di Madinah?

Persoalan kepemimpinan politik sejak dulu memang menjadi salah satu perhatian serius umat Islam. Tentu saja, …