Hadist sebagai bagian dalam ajaran Islam merupakan hal yang sangat penting dalam membentuk format ajaran di dalamnya. Hal tersebut merupakan imbas dari perintah dalam Islam agar mentaati Allah swt. dan Rasulullah saw.
Banyak ajaran Islam yang di dalamnya diperjelas dengan hadist. Hal tersebut seperti pelaksanaan shalat dan haji yang dijelaskan melalui Nabi Muhammad saw. Atau hal-hal lain yang membutuhkan penjelasan seperti ayat Alquran.
Atas dasar di atas, ulama hadist melakukan kerja keras dalam melalukan penelitian terkait otentisitas hadist yaitu dalam bentuk hadist yang dapat diterima dan dijadikan hujjah keagamaan. Selain itu, ulama juga mengklasifikasikan berdasarkan kualitas dan kuantitas dalam hadist.
Kerja ulama di atas dilakukan ketika dalam Islam ada peristiwa fitnah al-kubra yang menjadikan Islam terpecah-belah ke beragam kelompok yang masing-masing merasa benar. Mereka juga menggunakan hadist yang dibuat atau hadist mawdhu’ atau hadist pals dan hadist yang tidak pernah disampaikan oleh Nabi saw.
Hadist Lemah Tidak Memenuhi Kualitas Hadist yang Baik
Hadist mengalami transmisi yang panjang dari periwayat atau reporter satu ke periwayat yang lain. Proses tersebut tidak saja melibatkan satu generasi di tingkat sahabat melainkan beberapa generasi sesudahnya sampai ulama hadist yang membukukan hadist. Biasanya semakin senior ulama hadist yang membukukan hadist maka mata rantai transmisinya juga semakin pendek. Demikian juga jika mukharrij al-hadist abad ke 3 dan ke 4 Hijriyah akan lebih panjang daripada ulama di awal abad ke dua hijriyah.
Proses pelibatan banyak orang yang melakukan transmisi di atas menjadikan hadist rentan dalam kualitasnya. Ulama hadist telah memberikan pemecahan dalam menilai kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist dari orang satu ke yang lainnya dengan kaidah kesahihan rangkaiannya.
Kaidah yang dibangun ulama hadist di atas tidak ada sama sekali hubungannya dengan situasi kondisi masyarakat atas isi hadist. Hal tersebut sebagaimana viral dalam beberapa hari ini yang menjelaskan hadist lemah atau dha’if menjadi sahih atau hasan. Ini pendapat yang aneh dan tidak ditemukan dalam kebiasaan di kalangan ahli hadist.
Hadist lemah biasanya tidak memenuhi syarat derajat sahih. Hal tersebut bisa dalam hal adanya keterputusan sanad hadist, kualitas pribadi periwayat hadist dan kualitas hafalan atau dikenal dengan kedhabitan. Ketiga hal ini menjadi syarat penting dalam hadist sahih yang tidak bisa terpenuhi dalam hadist yang statusnya da’if atau lemah.
Periwayat yang memiliki kualitas lemah dalam hadist dengan kategori tertentu. Hal tersebut dijelaskan oleh M. ‘Ajjaj al-Khatib bahwa periwayat yang lemah kualitasnya seperti hadist yang diriwayatkan oleh periwayat yang pendusta atau sering berbohong, atau tertuduh dusta atau pelupa, tidak dikenal periwayatannya, pengikut bid’ah dan tidak baik hafalannya.
Pendapat di atas lebih banyak bertumpu pada syarat kedua dan ketiga dalam hal kesahihan hadist. Untuk syarat pertama terkait ketersambungan sanad lebih dialamatkan kepada status perjumpaan di antara guru dan murid.
3 Syarat Kesahihan Hadist
Baik sahih dan lemahnya suatu hadist ditentukan oleh mereka yang membawa teks hadist tersebut. Sebuah hadist harus memenuhi syarat tertentu yang jumlahnya sebanyak 5 buah namun jika 3 hal pertama terpenuhi maka syarat ke 4 dan ke 5 menjadi terpenuhi.
Kelima syarat tersebut adalah adanya hubungan antara guru dan murid antara penerima dan pemberi hadist. Istilah tersebut adalah tahammul wa al-ada’. Sahabat sebagai mirid dari Nabi Muhammad saw. harus pernah bertemu dengan Nabi Muhammad saw. Demikian juga sahabat yang mendapatkan hadist sebagai murid Nabi saw. harus juga bertemu langsung dengan beliau.
Syarat pertama ini dapat dengan mudah dilihat dalam kitab-kitab tentang rijal al-hadist. Kitab tersebut seperti al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah untuk khusus nama periwayat di tingkat sahabat. Atau periwayat yang umum seperti dalam Kitab Tahzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal karya al-Mizzi. Atau kitab-kitab lain seperti kitab tingkatan periwayat dan tempat tinggal periwayat hadist.
Melalui kajian dalam periwayat hadist ini dapat ditentukan kualitas hubungan guru dan murid lewat usia mereka dan keduanya memungkinkan bertemu dan satu generasi. Jika hal tersebut belum ditemukan hanya tahun wafat saja maka dapat dilakukan dengan cara pengakuan salah satu dari mereka baik murid maupun guru.
Cara lain yang sering dilakukan adalah rekam jejak petualangan periwayat hadist itu sendiri. Mereka bisa terlacak di kamus seperti Mu’jam al-Buldan. Atau terlihat melalui tempat tinggalnya atau baladu iqamah. Cara tersebut sudah tersusun rapi dalam menilai kualitas hubungan guru dan murid dalam periwayatan hadist.
Kajian atas sanad sebagaimana langkah pertama saja sudah rumit. Keahlian seseorang dalam memahami ilmu hadist terutama dalam al-jarh wa al-ta’dil sangat penting. Dengan model tersebut tentu membutuhkan kualitas penguasaan bahasa Arab dan Penguasaan Kitab-kitab dalam tradisi ahli hadist.
Untuk tidak melakukan kegiatan yang rumit sebagaimana ulama ahli hadist lakukan di atas dapat menggunakan hasil ijtihad ulama hadist yang sudah ada. Hal tersebut sebagaimana dapat diambil dalam Kitab Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Kedua kitab hadist tersebut memuat hadist sahih lebih banyak dibandingkan kitab hadist lainnya. Atau bisa menggunakan kitab hadist lain asalkan tidak sendirian. Hadist yang dijadikan pedoman tidak hanya diriwayatkan seorang saja melalui satu jalir saja seperti dalam Kitab Sunan Ibn Majah. Hal tersebut telah disepakati bahwa hadist yang sendirian tanpa adanya periwayat lain adalah da’if atau lemah.
Perubahan Status Hadist Da’if
Hadist lemah bisa meningkat kualitasnya asalkan hadist tersebut tidak sendirian atau ada periwayat lain yang mendukungnya. Hal tersebut dicontohkan dalam beberapa kitab ulumul al-hadist bahwa tidak mungkin hadist yang sendirian dan tidak ada pendukung hadist lainnya meningkat ke derajat lebih tinggi.
Kenyataan di atas mengharuskan hadist pendukung lebih tinggi kualitasnya. Hal tersebut tidak mungkin hadist lain yang kualitasnya sama lemah menjadi kuat. Atau penguatnya adalah kondisi di luar teks hadist. Kecuali keberadaan hadist tersebut terkait isi dari teks hadist yang ulama belum menyentuhnya secara mendalam.
Artinya melalui kajian sanad yang selama ini dilakukan adalah atas sanad dan periwayat yang sudah jelas ketentuannya. Sehingga tidak ada celah kualitas hadist ditentukan kondisi isi matan hadist dan perkembangannya.
Kondisi kualitas teks hadist telah dikaji ulama hadist. Secara bijak menggunakan keilmuan dan hasil kajian merupakan sesuatu yang baik dengan menggunakan produk hadist yang sahih dalam mengkaji agama. Hadist adalah bagian dari agama itu sendiri yang mengharuskan diperoleh dengan yang sahih sehingga ajaran Islam dapat kepastian melalui ajaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Cukup melalui kitab sahih seperti Sahih Imam Bukhari dan Sahih Muslim sebagai sumber keagamaan.
Sumber hadist yang lain yang lemah atau dha’if harus dihindari. Selain kualitasnya lemah dari sisi sanad atau periwayatnya juga dalam isinya juga bermasalah. Namun dalam hal tertentu ulama hadist masih membolehkan mengamalkannya terutama atas hadist tentang fadhail a’mal keutamaan perbuatan baik.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah