puasa dzulhijjah
dzulhijjah

Keutamaan dan Amalan 10 Hari Bulan Dzulhijjah

Tidak lama lagi ummat Islam akan memasuki bulan haji atau dikenal juga dengan Dzulhijjah. Bulan tersebut adalah bulan ke dua belas atau bulan terakhir di kalender Qomariyah. Sebuah kalender yang dicetuskan oleh Umar bin Khattab dengan basis Hijrahnya Nabi saw.

Dalam ajaran Islam terdapat ritual keagamaan yang sangat penting yaitu haji sebagai rukun Islam kelima. Bagi mereka yang tidak sedang menjalankan ibadah haji, terdapat sunnah menjalankan puasa sunnah. Puasa tersebut dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah bersamaan kaum Islam berwukuf di Arafah sebagai puncak kegiatan haji. Selain itu, juga terdapat beragam kemuliaan yang tidak saja selama dua hari tersebut melainkan selama 10 hari.

Bagaimana keutamaan bulan Dzulhijjah dan puasa sunnah di dalamnya dan bagaimana ummat Islam menjalankannya dengan tradisi yang ada khususnya di Indonesia menjadi kajian terpenting dalam tulisan ini.

Awal Dzulhijjah Awal Kebaikan

Q.S. al-Fajr (85): 1-2 mengabadikan kemuliaan 10 hari bulan Dzulhijjah. Allah swt. bersumpah dengan waktu fajr dan 10 hari. Hal ini menunjukkan pentingnya waktu atau peristiwa di dalamnya. Ungkapan malam bukan berarti kemuliaan di malam saja melainkan juga di siang hari. Hal ini merupakan kebiasaan bahasa Arab dalam mengungkapkan arti malam dan siang.

Ulama berselisih dalam menjelaskan arti ayat tersebut. Pendapat pertama arti 10 hari itu berada di bulan Dzulhijjah. Pendapat tersebut sesuai dengan pendapat Sahabat Ibn Abbas, Ibn Zubair dan Mujahid. Selain itu juga diikuti oleh ulama lain.

Pendapat kedua adalah sepuluh hari terakhir Ramadhan. Pendapat ini dengan alasan ada malam lailatul qadar. Namun pendapat ini tidak banyak yang mengikutinya.

Pendapat lain sebagai pendapat yang mengkompromikan kedua pendapat di atas. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah. Beliau menjelaskan secara kompromistis yakni baik malam maupun siang harinya. Apabila dimaknai malam maka 10 hari itu terjadi pada malam terakahir Ramadhan dan jika dimaknai dengan siang hari maka diartikan 10 hari bulan Dzulhijjah.

Beragam pemaknaan dan arti di atas yang paling diterima dan masyhur adalah pendapat pertama yakni 10 hari di bulan Dzulhijjah dan bukan pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan. Hal tersebut mengacu pada Sabda Nabi saw. yang menjelaskan keutamaan itu melebihi berjihad di jalan Allah swt. Kecuali Mereka Berjihad dengan harta benda dan jiwanya. Hadis tersebut di atas diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Abu Dawud.

Amalan Baik di Bulan Paling Baik

Bagi yang memaknai 10 hari di bulan Dzulhijjah sering melakukan berzikir untuk mendapatkan kebaikan dan menjalankan puasa yang tidak saja dilakukan pada tanggal 8 dan 9 Dzulhijjah di mana momentum Tarwiyah dan Arafah. Puasa 10 hari bulan Dzulhijjah dimulai sejak akhir bulan Dzulqa’dah. Dengan demikian hitungan harinya dalam puasa tetap 10 hari karena tanggal 10 Dzulhijjah sudah dilarang melakukan puasa karena memasuki hari raya Iedul Adha dan haram hukumnya jika berpuasa di hari raya.

Tradisi puasa 10 hari dilaksanakan oleh para ulama Indonesia. Salah satunya, KH. Miftahul Fattah Amin seorang pengasuh Pesanten al-Amin Lamongan. Beliau salah satu kiyai sepuh di pantura Jawa Timur yang merupakan keturunan Joko Tingkir Hal senada juga dilakukan oleh kawan sepondok Tebuireng Jombang KH. Ali Mustofa Ya’qub (almarhum). Kemuliaan ibadah puasa sebagaimana dilakukan di bulan ini setara dengan jihad fi sabilillah.

Jihad Utama dengan Ibadah Puasa Awal Dzulhijjah

Arti pemahaman pelaksanaan ibadah puasa 10 hari di bulan Dzulhijjah ini sama dengan pahala jihad. Pahala tersebut adalah kenikmatan kehidupan di akhirat yakni di dalam surga. Di saat banyaknya pemahaman instan untuk berjihad dengan model yang bertentangan dengan Pancasila dan NKRI, berpuasa di bulan baik ini menjadi alternatif dalam menjalankan ajaran agama yang benar.

Senada dengan Jihad di Bulan Dzulhijjah dengan puasa, jihad di Era Covid-19 merupakan jihad yang harus dilaksanakan dengan tetap berada di rumah. Hal ini sebagai sarana untuk mengurangi korban pandemi yang terus meningkat. Model jihad ini merupakan sebuah iniasi dari Sabda Nabi saw. dalam rangka membendung penyakit menular.

Dua model pemahaman kontekstual atas jihad fisik menjadi sebuah kegiatan yang sangat baik. Model ini mampu menjadikan keimanan dan ketaqwaan ummat Islam bertambah. Hal tersebut juga sesuai dengan ideologi kebangsaan Indonesia Pancasila.

Bagikan Artikel ini:

About Dr. Muhammad Alfatih Suryadilaga

Dosen Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam UIN Yogyakarta, Ketua Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia (ASILHA)

Check Also

haji 2020

Menyelami Ritual dan Makna Ibadah Haji dan Kurban

Setelah berjalan bulan Ramadhan dan Syawal, terdapat ibadah yang penting dalam ajaran Islam yang termasuk …

musim haji

Sejarah Berulang Akibat Wabah di Tengah Musim Haji

Setelah pelaksanaan ibadah  Ramadhan 1441 H. Kegiatan ummat Islam dan pemerintah biasanya terfokus  dalam mempersiapkan …