syarat dai
syarat dai

Membaca Sikap Pendakwah Populer yang Jumawa

Indonesia sebagai negara demokrasi juga menjadi lahan subur bagi market dakwah, baik aliran kanan ataupun aliran kiri. Dari garis keras, garis lurus, bahkan garis lucu sekalipun. Dari beragam aliran pendakwah tersebut semakin gencar ketika memasuki era Medsos pada tahun 2010 an, atau ketika internet tersebar luas di Indonesia. Dan ini membuat masyarakat Indonesia bergeser akses informasi dari yang semula televisi menuju ke internet, (Ibtisyam, 167). Wal hasil, internet pun menjadi ajang pencarian fatwa keagamaan.

Di saat bersamaan, muncul para pendakwah populer yang didominasi para dai yang tidak memiliki latar belakang keilmuan agama dari pesantren ataupun dari sekolah keagamaan. Tim Pasca Sarjana UIN Yogyakarta pada tahun 2017 lalu meneliti buku-buku islamis yang digemari oleh anak-anak muda millenial mayoritas diisi buku karangan ustadz-ustadz Medsos.

Selain itu, dakwah-dakwah di Medsos yang memiliki rating tinggi juga diisi oleh beberapa kelompok yang belakangan menuai cibiran karena telah menampakkan kegagapannya saat baca Al-Qur’an. Hal ini menunjukkan kemampuan keilmuan agama yang paling basik saja masih kurang mumpuni.

Namun, ketika mereka mendapatkan teguran dari masyarakat, justru bukan rendah hati dan meminta maaf atas kesalahan yang telah dilakukan. Bahkan justru semakin jumawa dengan mengatakan ilmu agama yang ia sampaikan berasal langsung dari Nabi Muhammad.

Ini menarik. Serumpun dengan para radikalis yang sudah menjadi Napiter tetapi tetep kekeuh dengan pendiriannya, bahwa faham agama yang ia fahami itu yang paling benar. Begitu juga dengan para pendakwah populer itu dengan kesalahan fatal yang telah diperbuat justru tidak menyurutkan tekadnya memberikan bantahan. Bukan justru merenungi kritikan maupun saran untuk memperbaiki materi yang disampaikan.

Respon dan tanggapan yang diberikan oleh para ulama dengan segudang referensi diabaikan begitu saja. Seolah tidak ada artinya walau hanya untuk sekadar perbaikan. Padahal dalam hal ini, seharusnya tidak boleh abai, dan selalu menjaga prinsip “saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran,” (QS. 104:3).

Ini baru saja problem etika. Belum lagi memasuki problem kemunduran keilmuan. Jika masih abai dengan saran-saran dari para ilmuan yang mumpuni, itu sama saja tidak bisa mencerna antara ilmu yang benar dan yang tidak benar. Di era klasik, dunia keilmuan Islam juga pernah mengalami hal yang serupa. Sehingga merebak hadits-hadits yang dipalsukan guna mendukung kepentingan kelompok. Atau bisa jadi, kekeliruan yang diperbuat dan tidak kunjung minta maaf itu memang disengaja?

Saya masih ingat ketika tokoh orientalis terkenal, Ignaz Goldziher membuat tulisan jika imam al-Zuhri (w. 123 H) sebagai pemalsu Hadits. Lalu ketika ia didatangi oleh Prof. Mustafa as-Sibai, justru kawan dekatnya, Joseph Schacht, hanya berdalih bahwa apa yang ditulis oleh Goldziher itu hanya kekeliruan saja. Lalu ia menuding, “Bukankah para ulama Islam juga pernah berbuat keliru?”

Dari sini, saya khawatir bahwa apa yang diperbuat oleh pendakwah populer yang jumawa itu juga demikian. Kekeliruan yang dilakukan bukan dianggap sebagai kesalahan yang disengaja. Tetapi kekeliruan karena alamiah. Namun anehnya tidak mau memperbaiki. Tidak mau belajar lagi, justru beranggapan benar sendiri. Nauzubillah min zalik.

Bagikan Artikel ini:

About Khoirul Anwar Afa

Dosen Fakultas Ushuluddin PTIQ Jakarta.

Check Also

Serat Centhini

Konsep Amalan Harian dan Zaman Huru Hara dalam Sastra Jawa

hari Senin seperti yang dilakukan Nabi Isa, malam harinya tidak makan daging sembari mengucapkan kalimat “Ya Rahman Ya Rahim” sebanyak 103 kali.

muslim kota

Tren Menghafal Al-Qur’an dan Kesalehan Populer Muslim Perkotaan

Semenjak sepuluh tahun terakhir ini, muncul sekolah-sekolah Islam yang menjadikan menghafal Al-Qur’an sebagai salah satu …