Tentu masih lekat dalam ingatan kita ketika beberapa hari yang lalu Prof. Nasaruddin Umar, imam Masjid Istiqlal membuat pernyataan bahwa kitab fikih yang ada saat ini merupakan produk perang salib. Bagi kalangan awam, berita ini tentu sesuatu banget dan memicu reaksi otak untuk bertanya, apakah memang demikian?.
Tetapi bagi kalangan santri dan pegiat studi fikih hal ini bukanlah sesuatu yang wah. Bukan barang baru lagi. Sebab selain Prof. Nasaruddin Umar, sebelumnya telah ada bahkan banyak yang berkata seperti itu.
Penulis berkeyakinan pernyataan Prof. Nasaruddin Umar tersebut sama dengan pernyataan salah satu kaidah fikih itu sendiri, yakni “Dzikru al Kul wa Iradati al Juz”, menyebutkan seluruhnya, tetapi yang dimaksud hanya bagiannya saja”. Dengan kata lain benar dalam bab-bab tertentu dalam fikih, namun salah dalam bab-bab fikih yang lain. Dan bila dicermati dalam pernyataannya tersebut memang demikian. Nasaruddin Umar tidak memukul rata semua materi fikih.
Sebagaimana maklum, fikih terkait ibadah sama sekali tidak akan tersentuh oleh setting sejarah relasi muslim dan non muslim. Kewajiban shalat lima waktu, zakat, haji dan ibadah lain yang sifatnya praktis murni dan steril dari pengaruh sosio-historis pertentangan muslim dengan agama lain. Secara manhaji (ushul fikih) tidak ada ruang merubah kewajiban shalat lima waktu menjadi sunnah atau tidak wajib. Kalaupun ada shalat khauf itu hanya sebagai bukti seriusnya keawajiba shalat lima waktu sehingga saat kondisi kecamuk perang sekalipun tetap harus dikerjakan.
Produk fikih yang perlu dirumuskan ulang, dan ini memang penting dilakukan, adalah beberapa materi seperti pembagian wilay menjadi Darul Islam (wilayah Islam) dan Darul Harbi (wilayah perang) karena secara qath’i memang tidak dijelaskan dalam al Qur’an maupun hadis. Murni kerja metodologi ushul fikih imam mujtahid madhab. Dalam wilayah ini memang perlu dirombak ulang mengingat situasi dan kondisi yang berbeda saat ini dan masa lahirnya produk fikih. Supaya kalangan awam tidak selalu menduga bahwa setiap non muslim adalah musuh yang harus diperangi. Bahkan bila mengacu pada sunnah Nabi perang hanya dilakukan dalam rangka mempertahankan negara dan bila posisi kita diserang serta ancaman terhadap jiwa.
Para mujtahid waktu itu membedakan dua wilayah ini tujuannya hanya untuk mempermudah mencari illat hukum bagi mereka yang berada di zona darul harbi dan darul Islam. Sehingga dalam satu kasus yang sama hukumnya berbeda antara mereka yang ada di dua wilayah tersebut. Supaya hukum yang dibuat selaras dengan maqashidus syariah. Bukan untuk mempertajam dan memperuncing konflik muslim non muslim. Sebagaimana diketahui bersama, ulama sepakat bahwa perbedaan agama, suku, ras dan golongan tidak sah dijadikan illat (alasan hukum) untuk berperang atau membunuh.
Dengan demikian, pernyataan Prof. Nasaruddin Umar benar dalam konteks relasi muslim dan non muslim kita harus menerapkan taqlid manhaji (ikut ulama secara metodologi). Artinya, merubah hukum tetapi tetap mengacu pada metode ushul fikih para imam Mujtahid. Sehingga nalar beragama murni berpijak pada maslahat manusia. Bahwa pembunuhan atas nama agama sangat dilarang.
Contoh kongkrit dari pemahaman fikih yang keliru adalah tindak kekerasan terorisme. Memahami ajaran agama tidak sempurna dan berangkat dari pemahaman yang sangat parsial sehingga keliru dalam memahami petunjuk dalil. Bahwa ada korelasi antara ayat jihad dengan ayat yang lain dan hadis menjadi terlupakan.
Oleh karena itu, sekali lagi, apa yang disampaikan oleh Prof. Nasaruddin Umar merupakan fakta pada bab terkait munculnya istilah darul harbi dan darul Islam yang berkaitan dengan relasi muslim dan non muslim. Bukan semua bab yang ada dalam kitab fikih saat ini.
Reformulasi Fikih Politik dalam Bingkai Negara Bangsa
Tentu saja konteks lahirnya ijtihad tentang term darul harbi dan darul Islam pada saat itu berbeda dengan kondisi kekinian. Istilah itu muncul ketika adanya kekuasaan dalam bentuk imperium dan Islam menjadi salah satu kekuatan besar saat itu. Ulama merasa terpanggil untuk mendefiniskan wilayah dengan murni ijtihad karena tidak ditemukannya nash shorih (jelas) mengenai persoalan tersebut.
Ketika kekuasaan wilayah didasarkan pada nation-state termasuk negara Timur Tengah sekalipun, istilah darul islam dan darul harb mendapatkan kondisi kekinian yang berbeda. Ulama harus kembali mengerahkan ijtihadnya bagaimana mendefinisikan wilayah dalam konteks negara bangsa. Beberapa hal yang akan berimplikasi terhadap perdebatan itu adalah problem jihad dan status warga negara di dalam negara bangsa tersebut.
Nahdlatul Ulama, saya kira, menjadi organisasi Islam di Indonesia yang secara berani memulai untuk mengkontekstualisasikan konsep kenegaraan dalam bingkai negara bangsa. Istilah tidak ada penyebutan kafir untuk non-muslim adalah bagian dari cara ijtihad itu bekerja dalam negara bangsa. Bukan istilah kafir itu dihapuskan dalam aspek teologis, tetapi secara sosiologis politik negara bangsa tidak ada lagi istilah kafir dalam konteks mendefinisikan warga negara sebagaimana dalam konsepsi lama yang berbasis darul harbi dan darul Islam.
Karena itulah, sejak awal fikih harus dipahami bukan sebagai teks suci walaupun bersumber dari proses istinbath terhadap teks suci. Fikih tetap saja dalam kediriannya sebagai produk ijtihad ulama yang sungguh besar jasanya dalam memproduksi pemikiran keislaman. Ketika konteks itu berubah terkait hukum-hukum yang berkaitan dengan konteks zaman, maka sejatinya mujtahid kontemporer harus terpanggil untuk melakukan pembaharuan ijtihad dalam kasus hukum-hukum tertentu, termasuk dalam hukum yang berkaitan dengan konsepsi negara, kewarganegaraan dan kewajiban warga negara dalam bingkai negara bangsa.