salahuddin
salahuddin

Salahuddin al-Ayyubi, Perang Salib dan Maulid Nabi

Mengenal Salahuddin al Ayyubi

Legenda perang salib ini memiliki nama lengkap Salahuddin Yusuf al Ayyubi. Pada masanya, beliau merupakan tokoh dan pemimpin yang sangat disegani, baik oleh lawan maupun kawan. Salah satu tokoh terbesar dalam Perang Salib. Namanya menjadi sangat masyhur ketika berhasil menaklukkan kerajaan Jerusalem yang ketika itu dipimpin oleh Guy The Lusignan, Raja Jerusalem.

Ia seorang panglima  yang gagah berani. Sifat kesatria yang luar biasa ini menular pada prajurit yang dipimpinnya, sehingga pasukan di bawah komandonya tersohor karena keberaniannya.Di dunia barat, beliau dikenal dengan Saladin.

Ia berasal dari bangsa Kurdi, lahir pada tahun 1137 M di Tikrit, sebuah kota yang terletak di barat laut kota Baghdad dekat sungai Tigris. Berasal dari keluarga Kurdish.  Sedari kecil, ia belajar ilmu agama di kota Damaskus di lingkungan anggota dinasti Zangid yang memerintah Syria, yaitu Nuruddin Zangi. Hal ini berlangsung sampai usianya memasuki tahun yang kesepuluh.

Pasca Sultan Nuruddin meninggal, Damaskus diserahkan kepada purtanya yang masih kecil, Sultan Salih Ismail didampingi oleh para wali atau penasehatnya. Kisruh perebutan kekuasaan terjadi lantaran putra-putra Sultan Nuruddin yang lain merasa tidak puas terhadap dominasi para wali yang menggiring dan menelikung wibawa Salih Ismail. Oleh sebab itu, keutuhan wilayah kekuasaan Nuruddin menjadi terkoyak.

Mendengar berita ini,  Salahuddin al Ayyubi pergi ke Damaskus untuk memulihkan keadaan. Akan tetapi pengikut pengikut Nuruddin yang tidak menginginkan persatuan melakukan perlawanan terhadapnya. Pertumpahan darah tak terhindarkan. Salahuddin menang dan menyatakan diri sebagai Raja untuk wilayah Mesir dan Syam pada tahun 571 H atau 1176 M dan berhasil memperluas wilayahnya hingga Mousul, Iraq.

Ceritanya, ayahnya Najmuddin Ayyub dan pamannya Asaduddin Syirkuh hijrah meninggalkan kampung halamannya dekat Danau Fan dan pindah ke daerah Tikrit, Iraq. Dan di kota inilah, tepatnya di benteng Tikrit, Salahuddin dilahirkan, tepatnya pada tahun 532 H atau 1137 M, ayahnya menjadi penguasa Saljuk di Tikrit.

Ayah dan Pamannya mengabdi kepada Imaduddin Zanky, gubernur Saljuk untuk kota Mousul, Iraq. Ketika Imaduddin berhasil merebut wilayah Balbek, Lebanon 534 H atau 1139 M, Najmuddin Ayyub di angkat menjadi Gubernur Balbek dan menjadi pembantu dekat Raja Suriah Nuruddin Mahmud.

Selama di Balbek inilah, Salahuddin mengisi masa mudanya dengan menekuni teknik perang, strategi, maupun politik. Setelah itu, Salahuddin melanjutkan pendidikannya ke Damaskus untuk mempelajari teologi Sunni selama 10 tahun, dalam lingkungan istana Nuruddin. Pada tahun 1169 M, Salahuddin diangkat menjadi seorang Wazir atau konselor.

Beliau adalah seorang yang zuhud. Karena kezuhudannya, sampai ada ungkapan “Seseorang yang baginya uang dan debu sama saja”.

Salahuddin meninggal pada tanggal 4 Maret 1193 di Damaskus. Para pengurus jenazahnya sempat terperangah karena Salahuddin tidak mempunyai harta. Ia hanya mempunyai selembar kain kafan lusuh yang selalu dibawanya dalam setiap perjalanannya dan uang senilai 66 dirham Nasirian, mata uang Suriah waktu itu, di dalam kotak besinya. Untuk mengurus penguburan panglima alim tersebut, mereka harus berhutang terlebih dahulu.

Mengembalikan Semangat Juang orang Islam dengan Maulid Nabi

Pada saat terjadi perang salib atau The Crusade. Perang antara umat Islam dan Kristen. Saat itu, umat Islam sedang berjuang keras mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa, yakni dari Prancis, Jerman, dan Inggris. Namun akhirnya pertahanan umat Islam porak poranda, sehingga pada tahun 1099 M tentara salib  berhasil merebut kota Yerusalem dan Masjid al Aqsa, salah satu masjid paling bersejarah dirubah menjadi gereja.

Kekalahan ini karena umat Islam saat itu kehilangan ruh semangat perjuangan dan ukhuwah islamiyah. Ukhuwah seperti kaum Muhajirin dan Anshar di bawah binaan Rasulullah, pada era ini lenyap di dalam timbunan sifat rakus dan cinta dunia umat Islam. Lebih parah lagi, secara politis memang umat Islam terbelah dalam banyak kerajaan dan kesultanan.

Dinasti Bani Abbas yang ada di Kota Baghdad sebagai pimpinan tertinggi yang membawahi semua kesultanan dan kerajaan yang lain tidak mampu mempersatukan beberapa kesultanan tersebut. Karena dinasti Abbasiyah tak lebih hanya lambang persatuan spiritual. Dari sini bisa dipahami, apapun bentuk sistem kekuasaan, seperti  kerajaan, kesultanan atau khilafah sekalipun, kalau jiwa umat Islam kerdil dan masih cinta dunia tidak akan memberikan kontribusi apapun terhadap perkembangan Islam.

Semangat api semangat Islam hampir padam. Kekalahan demi kekalahan dialami umat Islam. pada saat yang genting dan gawat yang sedemikian parahnya, tampillah seorang pemimpin gagah berani yang mampu membangkitkan semangat umat Islam. Adalah Sultan Salahuddin al Ayyubi atau Saladin dalam penyebutan lidah orang Eropa, seorang pemimpin yang trengginas dan terampil,  serta mampu menyentuh hati rakyat jelata.

Salahuddin kala itu sebagai pemimpin Dinasti Bani Ayyub, jabatan politis setingkat Gubernur. Pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia. Dalam pandangan beliau, tidak ada cara lain untuk menghidupkan kembali semangat juang umat Islam kecuali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada Nabi Muhammad. Yakni, dengan memperingati hari kelahiran Rasulullah. Maulid Nabi.

Ia menyerukan umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad, 12 Rabiul Awal kalender Hijriyah, yang selama ini berlalu begitu saja, lewat seakan tidak pernah terjadi kejadian luar biasa, mulai saat ini harus dirayakan secara massal. Ide maulid akbar Nabi Muhammad ini disampaikan Salahuddin sekaligus meminta persetujuan dari khalifah di Baghdad, yakni al Nashir, khalifah menyetujui ide cemerlang yang memang semestinya dilakukan oleh umat Islam setiap tahunnya.

Segera saja, pada musim ibadah haji bulan Dzulhijjah 579 H bertepatan dengan 1183 Masehi, Salahuddin sebagai penguasa haramain, Makkah dan Madinah,  mengeluarkan himbauan dan instruksi kepada seluruh jemaah haji, setelah kembali ke kampung halaman masing-masing untuk segera mensosialisasikan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun ini pada setiap tanggal 12 Rabiul Awal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.

Awalnya, ide perayaan maulid ini mendapat protes dari para ulama. Merayakan Maulid Nabi dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang menyalahi aturan agama Islam. Bid’ah. Alasannya, karena pada masa Nabi tidak pernah dilakukan. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Menanggapi kritik para ulama ini, dengan bijak Salahuddin menjelaskan bahwa perayaan Maulid Nabi tidak lebih hanya kegiatan untuk menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang jelek.

Dan, pada tahun 580 H atau tahun 1184 M, Sultan Salahuddin untuk pertama kalinya merayakan peringatan Maulid Nabi. Salah satu agenda dalam gebyar Maulid Nabi ini adalah sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Semua ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut.


 Adalah Syaikh Ja’far al Barzanji Pemenangnya. Kitab Barzanji karyanya mampu mengungguli karya-karya yang lain. Sampai saat ini, kitab Barzanji menjadi menu utama bacaan dalam peringatan maulid Nabi. Karya fenomenal ini bertutur tentang kehidupan Muhammad, mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia.

Nama Barzanji diambil dari nama pengarang naskah tersebut yakni Syekh Ja’far al Barzanji bin Husin bin Abdul Karim. Barzanji berasal dari nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzinj. Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul ‘Iqd al Jawahir yang artinya kalung permata. Disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad. Akan tetapi, dikemudian hari lebih terkenal dengan nama penulisnya.

Hasil yang sangat memukau diperoleh dari peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin. Semangat api Islam bergelora kembali. Umat Islam dengan semangat membara bangkit untuk menghadapi perang salib. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga tiga tahun setelah perayaan Maulid Nabi untuk pertama kalinya dan dirayakan tiap tahunnya, yakni pada tahun 583 H atau 1187 M, Yerusalem ditaklukkan oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjid al Aqsa kembali ke pelukan umat Islam, menjadi masjid kembali, sampai hari ini.

Bagikan Artikel ini:

About Islam Kaffah

Check Also

duduk di kuburan

Saat Ziarah, Bolehkah Duduk di Kuburan?

Meskipun arus puritanisasi  mengklaim ziarah kubur adalah ritual bid’ah, tapi tidak banyak muslim nusantara yang …

shalat ghaib korban bencana

Shalat Ghaib untuk Korban Bencana

Pada tanggal 4 Desember 2021 telah terjadi peningkatan aktifitas vulkanik di gunung semeru. Hal itu …