memahami islam
memahami islam

Prinsip-prinsip Universal Islam Kaffah

Khilafiyah dalam menyikapi persoalan furu’iyyah merupakan konsekuensi logis dari pemaknaan dalil dzanni. Sumber utama, al Qur’an dan hadis, memang dalam banyak hal hanya mengulas secara umum dan menyuguhkan konsep dasar, tidak detail. Oleh karena itu, kalau diperdebatkan, masalah furu’iyah tak akan pernah selesai.

Perbedaan cara pandang dalam hukum Islam ini hanya akan menyisakan ketegangan yang akan merembet pada retaknya ukhuwah Islamiyah apabila tidak disikapi dengan dewasa dan akhlak yang mulia. Hal yang penting sesungguhnya bukan memperuncing perbedaan yang ada, akan tetapi menghargai perbedaan yang ada sebagai suatu kekayaan khazanah intelektual Islam. Bukankah para imam madhab; Syafi’I, Hanafi, Malik dan Hanbali telah mengajarkan bagaimana menyikapi perbedaan kepada kita semua.

Islam, sebagaimana telah termaktub dalam al- Qur’an, memiliki beberapa  prinsip  dasar yang bersifat universal. Prinsip inilah yang harus menjadi pegangan dalam mewujudkan Islam yang kaffah. Islam kaffah bukan sekedar slogan untuk kembali berislam secara formal, tetapi justru masuk dalam subtansi nilai yang sempurna yang dimiliki Islam.

Beberapa prinsip universal dalam berislam secara kaffah adalah, Pertama, prinsip  tauhid.  Prinsip  pertama yang harus dipedomani oleh umat Islam. Secara umum, misi besar al-Qur’an adalah misi tauhid, Iman kepada Allah. Dengan demikian, apapun pemikiran dan  pandangan  yang dimiliki  seseorang,  prinsip  pertama  yang harus diingat adalah bahwa “Allah di atas segalanya”. Di atas makhluk hanya ada khaliq. Jadi setiap makhluk,  setiap manusia  pada  dasarnya  memiliki  derajat  yang sama,  egaliter. Semua orang berderajat  sama.

Kedua, prinsip ibadah dan khilafah. Tidak ada tujuan lain yang maha kuasa menciptakan manusia, melainkan untuk beribadah kepada pencipta semesta. Sebagaimana disebut dalam al-Qur’an. Pada dasarnya, prinsip ini mempertimbangkan dua aspek keberadaan manusia. Allah berfirman, “Dan aku tidak menciptakan  jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. al-Zdariyat: 56) dan  (QS. Al-Baqoroh: 30) “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak  menjadikan  seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata:  “Mengapa Engkau  hendak  menjadikan  (khalifah)  di bumi  itu  orang  yang akan membuat  kerusakan  padanya  dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji  Engkau dan  mensucikan  Engkau?” Tuhan  berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Kedua   prinsip   tersebut   secara   bersamaan  membidik dimensi  vertikal  dan horizontal manusia.  Dalam  beribadah, pola fikir yang harus digunakan adalah pola fikir ‘pembacaan, pemahaman, penerimaan, dan pemenuhan’, dalam arti membaca dan memahami  apa yang dikehendaki Allah melalui ayat-ayat qauliyah maupun kauniyah, menerima dan lalu menjalankannya.

Secara vertikal, manusia di hadapan Tuhan adalah hanya seorang hamba, yang memiliki kewajiban  untuk patuh dan tunduk kepada seluruh perintah-Nya. Ibadah berarti kepasrahan.  Dalam prinsip  ini terkandung  pengakuan manusia akan segala kelemahan dan keterbatasannya, termasuk keterbatasan  berfikir  dan  intelejensinya,  dihadapan  yang tak terbatas (Allah).

Di sisi lain dalam posisi sebagai khalifah, pola berfikir manusia adalah ‘pembacaan, pemahaman, perumusan tindakan dan pelaksanaan’; membaca petunjuk  al-Qur’an dan membaca realitas, memahaminya, merumuskan apa yang harus dilakukan dalam menghadapi realitas sesuai petunjuk al-Qur’an dan menjalankan  rumusan  yang telah digariskan.

Sebagai khalifah manusia  bertanggung  jawab atas terselenggaranya kehidupan di muka bumi yang harmonis, karena sebagai khalifah manusia adalah ‘pengurus dan pengelola bumi’. Untuk memenuhi  tanggung jawabnya tersebut, manusia hendaknya mampu membaca realitas semesta, menguasai ilmunya dan merumuskan tindakan yang harus dilakukan demi harmoni alam semesta.

Ketiga, prinsip Ta’aruf dan Tasabuq. Kedua prinsip, ta’aruf dan tasabuq ini lebih mengarah  kepada  pola bernalar manusia ketika menghadapi keragaman dalam kehidupan. Pluralitas merupakan sebuah keniscayaan. Nalar ta’aruf adalah nalar ‘saling memahami’, sementara nalar tasabuq adalah nalar ‘saling berlomba’ tentu  berlomba  dalam kebaikan yang  dimaksud di sini.

Kedua sikap ini perlu dilakukan  dalam menghadapi orang, kelompok atau komunitas  lain yang berbeda dengan “kita’. Keniscayaan adanya keragaman dalam hidup tidak selayaknya dihadapi dengan sikap konfrontatif terhadap yang berbeda, apalagi jika sampai memunculkan konflik yang tidak pada tempatnya.

Keempat, prinsip washatiyah, mengambil jalan tengah. Prinsip keempat ini mendapat inspirasi dari al- Qur’an (QS. Al-Baqarah: 143), bahwa umat Islam di  muka  bumi  ini  oleh  Allah dijadikan   Ummatan Wasatan, ummat penengah yang berlaku adil. Seorang muslim dituntut mampu menjadi penengah, adil dalam menyikapi kehidupan. 

Oleh karena itu, muslim yang kaffah mengedepankan prinsip keadilan. Dengan kata lain, seorang muslim yang kaffah adalah mereka yang kesehariannya bergaya hidup dan bergaya pikir ‘adil’, tidak membiarkan persepsi pribadi atau kepentingan kelompok atau pemihakan kepada golongan tertentu mempengaruhi keputusannya untuk berlaku adil.

Wallahu A’lam

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Ken Setiawan 1

Lemahnya Literasi dan Pemahaman Agama Sejati Buka Celah Radikalisme di Kalangan Pelajar

Jakarta – Pendiri NII Crisis Center, Ken Setiawan, menilai lemahnya literasi dan pemahaman agama yang …

terduga pelaku ledakan SMAN 72 copy

Pelaku Ledakan di Sekolah Tak Anti-Islam, Dipicu Masalah Emosional

Jakarta — Polda Metro Jaya menegaskan bahwa insiden ledakan di Masjid SMAN 72 Jakarta tidak …