Haji di tengah pandemi
Haji di tengah pandemi

Batal Haji Salah Siapa? Butuhkah Solusi Khilafah?

Suatu kebijakan pemerintah tentu mempertimbangkan mashlahah dan mudharat bukan sekedar didasarkan pada kepentingan yang lain. Ketika ia dibaca dalam kepentingan yang lain maka muncul pertanyaan salah siapa? Bukan atas dasar apa? Terlalu sinis membaca semua kebijakan akan menumpuk rekaman tafsir kebencian seperti asumsi dana haji yang diselewengkan, politik yang tidak islami, atau karena hutang atau karena China dan asumsi liar atas dasar kebencian.

Akibat kicauan dan propaganda yang sesat dan menyesatkan masyarakat menjadi resah. Timbul pertanyaan apakah memang ada kepentingan dana haji? Apakah memang pemerintah ada kepentingan lain, sementara pihak Arab Saudi belum memberikan kepastian kouta?

Ada juga yang berpendapat bahwa kegagalan haji karena dikelola negara sekuler. Seandainya pemerintahan khilafah tentu akan bisa melaksanakan haji. Sebenarnya gagasan ini adalah bagian dari menyisipkan semua ide khilafah di semua persoalan apapun. Dan kelompok ini sejatinya tiada lelah ingin menawarkan khilafah sebagai obat dari segala penyakit saat ini. Biarkanlah ide dan gagasan ini ditampung untuk menambah referensi klasik dari sejarah khilafah masa lalu.

Kita kembali terlebih dahulu ke persoalan pelaksanaan haji tanpa khilafah. Sebenarnya cukup mudah menjawabnya. Kenapa Arab Saudi belum memutuskan kouta? Apakah kondisi saat ini dipandang seperti kondisi normal sehingga Arab Saudi pun masih butuh ijtihad pemikiran untuk memutuskan pelaksanaan Haji.

Jika memang Arab Saudi belum memutuskan tentu pertimbangan mashlahah dan mudharat juga sedang menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Arab Saudi selaku penanggungjawab pelaksanaan haji. Ini bukan sekedar persoalan Indonesia, tetapi persoalan global dan Arab Saudi juga tidak mau pelaksanaan haji menjadi episentrum baru penyebaran covid-19 yang masih menggila di berbagai negara.

Pertanyaannya apakah dasar mashlahah dan mafsadhah yang nyata cukup dijadikan dasar untuk membatalkan ibadah? Mereka yang senang berpikir dengan kajian ijtihad fikih bukan yang suka mengumbar nyinyir tanpa dasar, tentu sangat paham kaidah fikih tersebut. Rasanya tidak perlu dijelaskan secara rinci.

Rasulullah Pun Pernah Membatalkan Haji

Haji adalah ibadah yang menuntut kemampuan secara fisik, finansial dan infrastuktur pelaksanaannya, termasuk faktor kondisi yang kondusif untuk pelaksanaan haji. Pertimbangan ini semata penting agar perjalanan ibadah mampu menjaga kemaslahatan jiwa manusia. Rasulullah pun pernah menunda dan batal haji karena

pertimbangan keamanan. Ketika dengan tekad bulat dan sudah rindu melaksanakan haji, Rasulullah bersama rombongan jamaah haji dari Madinah yang mencapai seribu lima ratus orang berangkat menuju Baitullah.

Namun, di tengah perjalanan rombongan itu dihadang oleh Khalid bin Walid. Peristiwa ini dikenal dengan Baitu al Ridwan. Nabi dan rombongan dari Madinah kala itu sudah berihram dan bertalbiyah menjawab seruan Allah. Beberapa kilo meter Khalid bin Walid yang kala itu masih kafir beserta pasukannya dengan senjata lengkap menghadang dan memaksa Nabi beserta rombongan untuk kembali ke Madinah.

Beberapa sahabat senior geram dan mengusulkan kepada Rasulullah untuk berperang melawan pasukan Quraisy mengingat mereka telah melakukan perjalanan panjang dari Madinah ke Makkah dan dengan tujuan yang mulia. Yakni menunaikan ibadah haji. Maka mati berkalang tanah sebagai syuhada lebih baik daripada harus kembali ke Madinah.

Namun, apa yang dilakukan oleh Nabi benar-benar di luar dugaan. Demi menjaga stabilitas keamanan dan perdamaian, beliau membuat suatu perjanjian yang dikemudian hari dikenal dengan perjanjian Hudaibiyah. Perjalanan itu adalah untuk niat berhaji bukan untuk berperang sekalipun secara kekuatan pada saat itu pastilah mampu.

Pelaksaan Haji Pernah Batal karena Serangan Khilafah

Dalam catatan sejarah sebenarnya pelaksanaan haji pernah mengalami pembatalan berkali-kali. Bahkan terhitung hingga 40 kali sejak diselenggarakan tahun 629 Masehi. Bahkan dari 40 kali tersebut pada tahun 865 Masehi haji dibatalkan karena ada konflik dengan khalifah Abbasiyah yang berbasis di Baghdad. Ismail bin Yousef atau dikenal sebagai Al-Safak melancarkan serangan ke gunung suci Arafah. Pembataian pun tak terelakan terjadi di sana.

Nah, kembali lagi sebentar kepada yang meneriakkan khilafah tadi, sesungguhnya salah satu alasan pembatalan dalam sejarah khilafah karena ada konflik kekhilfahan. Apa yang ingin disampaikan bahwa sistem selalu ideal tetapi karena kepentingan dan politik semua yang ideal kadang menjadi buruk. Termasuk sistem khilafah yang diagungkan oleh para pendukungnya juga tidak sepi dari tetesan darah dan tragedi. Hanya selalu yang dijual dan dikampanyekan adalah sisi yang harum seperti aroma terapi yang menenangkan. Sejatinya, konflik politik khilafah sama halnya dengan tragedi di sistem politik sekuler sekalipun.

Selain masalah politik, pembatalan haji juga pernah dengan alasan serangan penyakit yang terjadi pada 1831. Ketika itu, wabah dari India menyerang Makkah. Diperkirakan sepertiga jamaah haji jadi korban meninggal dunia. Kemudian, serangan penyakit juga pernah melanda pada musim haji sepanjang 1837-1858. Selama periode itu, musim haji mengalami pembatalan tiga kali. Para jamaah tak bisa mencapai Makkah selama tujuh tahun.

Butuh Pikiran Mashlahah dan berbasis Sejarah

Apa yang ingin disampaikan adalah bahwa pembatalan haji bukan suatu yang baru dua kali terjadi. Sejarah telah mencatatkan pembatalan yang berkali-kali semata karena pertimbangan kemashlahatan. Pemerintah Arab Saudi tidak butuh sistem khilafah untuk memutuskan hal tersebut. Kerjaan Arab Saudi membutuhkan pemikiran berdasarkan mashlahah yang mementingkan kepentingan umat.

Sebagai pengelola dan penanggungjawab pelaksanaan Haji dan kepentingan negaranya, tentu perlu pertimbangan yang rumit dan jangka panjang bagi Pemerintah Arab Saudi. Dalam pertimbangan itulah, pemerintah Indonesia mengambil ijtihad untuk menunda pemberangkatan tahun ini semata juga karena pertimbangan kemashlahatan.

Jika pertimbangan kemashlatan ini kemudian ditafsir dalam pertanyaan “salah siapa” dengan nada sumir dan benci, tentu akan melahirkan postingan yang beredar seperti saat ini. Namun, tentu masyarakat yang cerdas mampu membedakan mana arahan ulama dan tokoh agama yang patut didengar, dan mana mereka yang gemar nynyir dan provokatif.

Wallahu a’lam

Bagikan Artikel ini:

About Farhah Salihah

Check Also

ramadan

Ramadan Berlalu, Perilaku Koq Masih Seperti Dulu

Hanya sebentar setelah berakhirnya bulan Ramadan, kita sering kali merasakan betapa cepatnya kita melupakan pelajaran …

madinah

Siapa yang Mengangkat Nabi Muhammad Menjadi Pemimpin di Madinah?

Persoalan kepemimpinan politik sejak dulu memang menjadi salah satu perhatian serius umat Islam. Tentu saja, …