Jakarta- KH Abdurrahman Wahid tidak hanya seorang kiai dan presiden yang pernah memimpin Indonesia, tapi Gus Dur, panggilan karibnya, juga seorang laki-laki yang sangat konsisten memperjuangkan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan.
Hal itu diceritakan oleh sang istri, Nyai Hj. Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid. Seperti diketahui, Gus Dur adalah laki-laki satu-satunya dalam keluarganya. Ia hidup bersama satu istri dan empat orang putri.
“Kami memang tidak punya anak laki-laki, tapi memang tidak ada perbedaan sama sekali di antara kami. Jadi tidak pernah membeda-bedakan apa pun itu. Kalau kepada saya, apa pun yang saya lakukan, Gus Dur menyetujui. Apa pun yang saya pakai, Gus Dur oke. Tidak pernah Gus Dur mengatakan, ‘oh kamu pakai baju itu nggak pantes atau kekecilan’, tidak,” ungkap Nyai Sinta dikutip dari laman NU Online Rabu (9/11/2022).
“Bahkan, saya yang mencukur rambut Gus Dur. Jadi, nggak ada masalah. Misalnya masakan nggak enak, nggak apa-apa, tetap dimakan. Jadi ya kita hidup bareng-bareng lah,” kata Nyai Sinta usai acara Bahtsul Masail membincang keterlibatan lelaki dalam membangun kesetaraan gender, di Ciganjur, Jakarta Selatan.
Menurut Nyai Sinta, penghormatan Gus Dur terhadap perempuan bermula sejak ditinggal wafat sang ayah, KH A Wahid Hasyim. Gus Dur menjadi yatim ketika usianya masih kecil. Saat Gus Dur baru lulus Sekolah Dasar. Gus Dur dan lima saudara kandungnya yang lain dibesarkan oleh seorang ibu, Nyai Solichah. Peran ganda, sebagai ibu dan ayah, dilakukan Nyai Solichah dalam membesarkan anak-anaknya.
“Melihat seperti itu (peran Nyai Solichah membesarkan anak-anaknya), Gus Dur merasa bahwa ibu itu harus dihormati dan dihargai,” tutur Nyai Sinta
Hal senada diutarakan Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) PBNU KH Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil). Ia mengatakan bahwa peran Gus Dur sangat luar biasa dalam memberikan pandangan keagamaan yang progresif tanpa meninggalkan tradisi berpikir para ulama terdahulu.
Menurut Gus Ulil, apabila tidak ada Gus Dur bisa jadi wajah ulama dan santri NU saat ini akan berbeda. Tidak seperti sekarang yang mampu melakukan rekontekstualisasi atas teks-teks keagamaan.
“Gus Dur itu benar-benar mengubah banyak hal, mengubah paradigma kita dalam memandang dan menganalisa masalah, termasuk masalah perempuan ini. Jadi Gus Dur punya peran besar di dalam komunitas Nahdliyin, terutama komunitas kiai,” ungkap Gus Ulil.
Diketahui, Nyai Sinta melalui Yayasan Puan Amal Hayati menginisiasi dan menggelar bahtsul masail (membahas masalah) bertema ‘Meningkatkan Keterlibatan Lelaki dalam Upaya Mencapai Kesetaraan dan Keadilan Gender’. Diskusi tersebut digelar terbatas. Di antara narasumber yang hadir adalah Gus Ulil, Mustasyar PBNU KH Husein Muhammad, Katib Syuriyah KH Abdul Moqsith Ghazali, dan Menteri Agama 2014-2019 H Lukman Hakim Saifuddin.
Hasil dari bahtsul masail itu untuk sementara menjadi milik Yayasan Puan Amal Hayati. Kemudian akan dirumuskan menjadi sebuah draf rumusan dan rencananya akan diterbitkan menjadi sebuah buku. Harapannya, masyarakat menjadi paham sehingga tidak menggunakan teks-teks keagamaan untuk kepentingan masing-masing, terutama yang membuat perempuan menjadi korban kekerasan.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah