Di dalam syariat Islam, bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya tidak boleh keluar rumah tanpa ada kebutuhan penting selama menjalani masa iddah, yaitu empat bulan sepuluh hari. Sebagaimana Allah swt berfirman:
لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ
Artinya: “Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang”(QS. At Thalaq: 1)
Sekalipun ayat ini berkaitan dengan masalah perceraian, tetapi ulama’ menjadikan ayat ini sebagai dalil keharaman juga bagi wanita yang ditinggal mati suaminya keluar dari rumah tempat tinggalnya.
Aturan khusus ini sering menjadi problema di masyarakat di mana tidak sedikit wanita menjadi pekerja untuk kebutuhan hidupnya, bahkan menjadi pengganti posisi suami dalam mencari nafkah manakala suami sudah tidak mampu. Pemandangan seperti ini tidak sedikit di desa-desa manakala suaminya sudah tidak mampu bekerja lagi. Dalam konteks seperti ini, peran wanita tidak lagi membantu suami dalam menyediakan bahan jadi dan mengasuh anak-anak, tetapi bertambah berat menjadi tulang punggung kehidupan keluarga. menjadi tulang punggung kehidupan keluarga. Di sinilah penting untuk memberikan pemahaman dan solusi bagi mereka agar Fiqh dengan realitas masyarakat dapat berjalan dengan imbang.
Memang di dalam Fiqh, wanita yang ditinggal mati suaminya tidak boleh keluar rumah. Namun ketidak bolehan ini tidak secara mutlak, masih ada celah bagi wanita untuk keluar rumah, yaitu ketika ada hajat.
Di dalam kitab Taqrib karya Abu Syuja’ Al Ashfahani disebutkan:
وعَلى الْمُتَوفَّى عَنْهَا زَوجهَا والمبتوتة مُلَازمَة الْبَيْت إِلَّا لحَاجَة
Artinya: “Wajib bagi wanita yang ditinggal mati suaminya dan juga istri yang ditalak bain menetap di rumah kecuali karena ada kebutuhan”
Yang dimaksud dengan hajah atau kebutuhan yaitu sebagaimana di dalam kitab Al Madhal Alal Qawaidil Fiqhiyah :
اَلْحَاجَةُ هِيَ اَلَّتِيْ تَسْتَدْعِيْ تَيْسِيْرًا لِأَجْلِ الْحُصُوْلِ عَلَى الْمَقْصُوْدِ فَهِيَ دُوْنَ الضَّرُوْرَةِ
Artinya: “Hajat adalah sesuatu yang meminta agar menjadi mudah untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan, hajat tingkatannya di bawah dhorurat”
Dalam hal ini, ulama’ sepakat apa yang dibolehkan dalam kondisi hajat (bentuk kebutuhan) maka barang tentu boleh ketika kondisi dhorurat, sebab hajat tingkatannya masih di bawah dhorurot.
Sebab itu, manakala wanita yang ditinggal mati membutuhkan sesuatu yang menyebabkan ia harus keluar rumah, seperti ingin membeli sesuatu maka boleh bagi wanita tersebut keluar rumah. Akan tetapi jika dalam rangka mengembangkan harta bendanya, seperti berdagang padahal tanpa berdagang pun ia bisa bertahan hidup dengan harta-harta yang ada, maka yang demikian tidak boleh. Zakaria al Ansyari dalam kitab Asnal Mathalib berkata :
وَلَا تُعَذَّرُ في الْخُرُوجِ لِتِجَارَةٍ وَزِيَارَةٍ وَتَعْجِيلِ حَجَّةِ الْإِسْلَامِ وَنَحْوِهَا من الْأَغْرَاضِ التي تُعَدُّ من الزِّيَادَاتِ دُونَ الْمُهِمَّاتِ
Artinya: “Tidak dianggap udzur yaitu keluar dalam rangka berdagang, ziarah kubur, menyegerakan hajinya Islam dan semacamnya yang dianggap sebagai tujuan mengembangkan bukan hal yang penting”
Dari hal ini maka bisa dipahami, bahwa kebolehan dan tidaknya keluar rumah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya tergantung tujuan keluar dari rumah tersebut. Jika sudah pada tinggakatan kebutuhan maka boleh, namun jika hanya sekedar kesenangan atau tujuan mengembangkan potensi diri, maka tidak boleh. Begitu juga wanita pekerja yang banyak terjadi di Indonesia, jika ia merupakan tulang punggung keluarga, maka boleh keluar rumah, tetapi jika ia merupakan pegawai yang bisa hidup tanpa memaksimalkan bekerja, maka tidak boleh.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah